Kuacak-acak
lagi bajuku yang memang sudah berantakan. Mencari sesuatu yang sepertinya
kuselipkan di bawah lipatan baju. Namun uangku sudah benar-benar hilang.
Kira-kira tiga puluh ribuan yang kuletakkan di sana semalam. Kupejamkan mata menahan
air yang hendak tumpah, kuraba saku kanan bajuku, meraih uang dua puluh ribu
menatapnya penuh harap.
“Ini
harus cukup untuk satu minggu.” Ucapku lirih.
Tiba-tiba
Zaki muncul di depan pintu. Tergesa-gesa kumasukkan lagi uang itu ke dalam
saku, segera kupalingkan wajah menatap lemari yang berantakan, kuusap genangan
air mata yang tak sempat menetes.
“Kau
sudah makan?” Tanya Zaki
“Aku
masih kenyang.” Pura-pura memukul perutku perlahan sembari melempar senyum
padanya. Dia hanya menggerakkan mulutnya seakan mengatakan “owh.” Sambil
menganggukkan kepala. Lalu berjalan menuju lemari paling barat, mengambil
sesuatu lalu keluar lagi. Aku hanya melihatnya dari balik jendela.
“Tiga
ribu. Jangan lupa pake sambel.” Ucap Zaki pada Sukri, tangannya menyodorkan
uang lima ribuan. Sukri hanya mengangguk dan pergi ke dhalem, dia seorang
khodam yang sudah biasa melayani santri yang ingin membeli nasi. Dan Zaki
kembali masuk lalu duduk di samping pintu. Aku hanya meliriknya sebentar,
tanganku masih sibuk merapikan baju.
“Kamu
akan ikut tes gelombang berapa?” suara Rifqi yang sepertinya berdiri di ambang
pintu. Aku tidak menoleh, tanganku masih merapikan baju, yang beberapa langkah
lagi akan selesai.
“Terserah
kamu saja.” Jawabku seraya membalikkan badan dan menutup lemari.
“Bagaimana
kalau gelombang pertama?” Tanya Rifqi. Dia lalu duduk hadapan Zaki. Aku pun
duduk di tempatku berdiri.
“Kapan
gelombang pertama dimulai?” Tanyaku mencari kepastian
“Malam
sabtu ini.”
“nggak
terlalu cepat?” Zaki ikut bicara.
“Dia
kan baru dua hari mondok, kan tidak ada persiapan jika besok malam harus
langsung ikut tes.”
“Dia
bukan kamu. Sehari pun cukup untuk persiapan.” Sahut Rifqi memujiku sambil
tersenyum.
“kalau
gelombang kedua kapan?” Aku kembali bertanya.
“Sabtu
depan.”
“Ya
sudah gelombang kedua saja.” Pintaku pada Rifqi. Dia hanya mengangguk setuju.
“Zaki?
ini nasinya.” Sukri di luar kamar membawa tiga bungkus nasi. Zaki pun keluar
untuk mengambil nasi tersebut.
“Ini.
Tolong berikan pada Fadil dan Khoiri.”
Zaki
meletakkan dua bungkus di atas lemari Fadil. Dan satu di tangannya dia buka
untuk dimakannya sendiri.
“Hayya
takkulu biy.”
“Tafaddhol.”
Jawab Rifqi. Aku hanya mengangguk walaupun tidak mengerti.
Aku
melangkah ke luar namun bingung mau ke mana, di sini aku seperti terpenjara.
Jika dikatakan kerasan, aku sering ingat pada rumah. Jika ditanyakan mau
pulang, aku betah di sini banyak teman.
“Fid,
mau ke mana?” Rifqi memanggil, langkahku terhenti di mulut pintu.
“Keliling
pesantren.” Jawabku sambil menoleh pada Rifqi. Lalu sejenak melihat Zaki yang
tengah lahap menyantap makanannya. Kuraba perut yang sedari tadi melantunkan
syair penuh harap. Kupejamkan mata mencoba untuk menahan, dan kembali
melanjutkan langkah.
Usai
salat dhuha, aku meraih kitab di sampingku dan berjalan keluar masjid. Sampai
di tangga masjid aku mencari sandal yang biasanya kutaruh di sini. Namun
sekarang sudah raib entah ke mana. Aku mengelilingi sisi masjid, mungkin ada
yang memindahkan. Tetap tidak ada, aku tidak tau harus mencari ke mana lagi.
Aku
kembali ke asrama dengan wajah murung. Sabar. Ya, itu pelajaran pertama yang
kudapatkan di pesanten ini, pesan Kyai sewaktu pengajian kitab beberapa hari
yang lalu.
Di
depan pintu kamar yang tertutup langkahku terhenti, aku terdiam mendengarkan
perkataan Khoiri.
“…
tadi sebelum pengajian kutaruh di sini.”
“Coba
cari lagi mungkin terselip.” Jawab Zaki.
“Tidak
ada. Sudah kuacak-acak semua bajuku.”
“Mungkin
ada maling di kamar ini.” Ucap Yogi yang juga di dalam kamar. Aku tidak tau di
dalam sana ada siapa saja, aku masih terus mendengarkan pembicaraan mereka.
“Padahal
tahun lalu kamar ini aman-aman saja.” Seperti suara Fadil.
“Coba
kau tanya anak baru itu.” Aku terperanjat mendengar tuduhan Yogi yang begitu
jelas. Karena hanya aku yang baru di kamar ini.
“Jangan
menuduh sembarangan.” Zaki membelaku.
“Kamu
jangan membelanya.” Fadil membentak dengan suara kasar.
“Kamu
kan juga baru kenal.” Yogi ikut angkat suara.
“Sebenarnya
aku sudah curiga padanya.” Khoiri ikut-ikutan menuduhku.
“Dia
kan lulusan SMP, mungkin saja dia sudah terbawa oleh kenakalan remaja.”
Beberapa
saat terasa sepi. Segera aku membuka pintu, tanpa menoleh pada mereka,
pura-pura tidak mendengar pembicaraan mereka barusan. Kubuka lemari, meletakkan
kitab dan mengambil uang yang kuletakkan dalam buku. Kemudian keluar tanpa
mengucap sepatah katapun. Aku ke koprasi untuk membeli sandal. Harganya sepuluh
ribu, sebelum kembali ke asrama aku berfikir sejenak dengan sisa uang enam ribu
di tanganku.
“Sudah
dua hari aku selalu beli nasi kecil yang harganya dua ribu. Sekarang uang enam
ribu ini harus cukup untuk lima hari kedepan. Mau tidak mau aku harus
berpuasa.” Gumamku dalam hati.
Aku
terus berjalan sambil merenung. Kakiku terus menendang-nendang batu kecil yang
kujumpai, aku sudah berfikir untuk pulang saja, tidak betah jika lama-lama di
sini.
“Hey…!”
Seseorang yang tak kukenal menunjuk ke arahku.
“Kamu
yang melempar batu ini?” aku hanya menggeleng melihat tubuhnya yang sedikit
lebih besar dariku. Tatapannya tajam.
“Maaf.
Maaf.” Ucapku memohon. Namun tatapannya semakin melotot, tangan kirinya
menggenggam batu itu, tangan satunya mengepal siap melayangkan tinjunya.
Pukulan pertamanya sigap kuhindari, begitu pula yang kedua. Wajahnya semakin
merah, mungkin merasa dipermainkan. Lalu bertubi-tubi tanpa terkendali dia
memukulku, namun aku berhasil menepis dan menghindari semua serangannya. Sejauh
ini aku belum melawan, di SMP dulu aku dikenal sering berkelahi, jadi mudah
saja aku melawan walau tubuhnya lebih besar.
Tiba-tiba
ada pengurus melerai, kami berdua dibawa ke kantor madrasah. Nyaliku
benar-benar ciut hari ini, aku merasa malu ditatap oleh puluhan santri dalam
perjalanan kekantor. Aku hanya bisa menunduk dengan suasana seperti ini.
“Kenapa
kalian berkelahi?” Bentak seorang pengurus dengan peci hitam. Aku tak berani
mendongakkan kepala.
“Ini
dua yang salah pak.” Seorang santri yang berkelahi denganku tadi, sembari
tangannya menunjuk ke arahku. Tak ayal aku terkejut mendengar jawabannya.
“Benar
kamu yang memulainya?” pengurus itu menatapku.
“Kamu
kelas berapa?”
“Belum
ikut tes-an.” Jewabku grogi. Keringatku mengalir.
“Kamu
mau jadi jagoan? Masih baru sudah berani berkelahi. Benar kamu yang memulai
duluan?”
“Iya…”
jawabku terhenti. “Plak” tamparan mendarat di pipiku, padahal aku ingin
menjelaskan bahwa aku tidak sengaja. Kutahan air mata yang akan menetes, bukan
karena tamparan itu, tapi aku merasa ini tidak adil.
“Sudah,
kamu kembali ke kamarmu.” Ucap pengurus itu pada seseorang yang mulai bernafas
lega di sampingku. Lalu laki-laki yang menamparku barusan melihat ke arahku,
tatapannya sedikit ramah, namun tetap menampakkan amarahnya.
“Berhubung
kamu masih baru, saya tidak akan melapor orangtuamu. Tapi kamu harus berdiri di
depan kantor sambil memegang tulisan ini. Kamu boleh kembali ke kamarmu jika
adzan dhuhur sudah berkumandang.
“saya
melanggar aturan pesantren. Saya telah berkelahi. Saya berjanji tidak akan
mengulanginya lagi.” Begitu isi lembaran yang kupegang di depan dadaku.
Sekitar
satu jam sudah aku berdiri, kulihat Khoiri tergesa-gesa menuju kantor. Aku
mengira dia akan melaporkan uangnya yang hilang. Selang beberapa saat pengurus
tadi keluar dan mermanggil seorang santri.
“Tolong
panggilkan ketua kamar D13 dan semua anak buahnya.” Ujar laki-laki berpeci
hitam itu pada santri yang segera berlari kecil ke utara melaksanakan titahnya.
Hanya beberapa menit kulihat teman-temanku mendatangi kantor, mereka
memandangku sejenak.
Zaki
memanggilku dari pintu kantor. Aku memutar dan mendatanginya, sebenarnya masih
bingung apa yang terjadi. Di kantor aku sempat melihat dari paling barat Khoiri,
Rifqi, Fadil, Sukri, Yogi, Zaki dan aku duduk paling timur dekat pintu.
“Jangan-jangan
kamu lagi yang bikin ulah?” Aku hanya menggeleng mendengar jawaban yang
jelas-jelas menuduh seperti itu.
“Begini.
Teman kalian ada yang melapor kehilangan uang.” Ujar pengurus satunya yang
memiliki kumis dan jenggot tipis, penampilannya semakin berwibawa dengan baju
takwa putih.
“Mungkin
ada yang merasa ada yang mengambilnya. Sebaiknya mengaku sekarang, saya tidak
akan memberi hukuman, justru saya yang akan mengganti uang tersebut. Tapi jika
tidak ada yang mengaku dan suatu saat tertangkap basah mencuri lagi, kami
sebagai pengurus akan memberi hukuman yang berat, dan mungkin akan dikeluarkan
dari pesantren dengan cara tidak terhormat.”
Kulirik
teman-temanku tertunduk, keringat dinginnya mengalir, semua tampak ketakutan.
Ruangan berselimut hening, tak ada yang berani angkat bicara.
“Mana
mungkin ada maling yang berani ngaku.” Gumamku dalam hati.
“Khoiri.
Berhubung tidak ada yang mau ngaku, biar nanti saya baca surat kiamat saja.
Sekarang, kalian boleh kembali ke asrama kalian.” Ujar pengurus yang berkumis
tipis.
“Anak
baru?” Aku menoleh, pengurus dengan peci hitam memanggil.
“Kamu
tetap di sini dulu.” Aku pun duduk. Mengikuti perintahnya.
“Untuk
hari ini kami ampuni. Tapi ingat, namamu sudah ada dalam catatan kami. Jangan
sampai kamu melanggar lagi.” Aku hanya mengangguk. Dan segera beranjak
meninggalkan kantor. Namun aku belum puas. Aku merasa dibebaskan dari hukuman
yang jelas-jelas tak mendasar bahkan fitnah. Ah, sudahlah ini semua hanya salah
faham. “Sabar” aku teringat lagi kata itu, menentramkan hati yang mulai kacau.
Seperti
suara petir menggelegar. Aku membuka mata. Pintu digedor-gedor, bambu tipis di
tangannya memukul apa saja di hadapannya. Memang demikian para ketua kamar
membangunkan para santri. Biasanya jam tiga malam aku sudah di masjid untuk
solat, sebelum ketua kamar membangunkan para santri. Tapi sekarang aku
terlambat bangun, aku mencoba bangkit, namun tubuhku terasa berat, kepalaku
seakan ditusuk oleh puluhan pisau dan perutku seperti ditimbun batu besar.
“Dik.
Dik. Bangun bangun. Azan subuh sesaat lagi.” Seorang ketua kamar memukul
tubuhku yang masih tertutup selimut. Lalu tanganku ditarik dengan kasar hingga
aku terduduk. Perutku semakin perih, kutekan dengan tangan mencoba menahan
sakitnya.
“Kamu
kenapa?” ketua kamar itu bertanya dengan ramah. Aku tidak menjawab masih
menahan sakit, kemudian aku ditidurkan dan selimutku dibetulkan kembali. Lalu
dia segera keluar.
“Sebagai
orang Islam hendaknya selalu berasabar. Apalagi seorang santri. Harus sabar
dalam melaksanakan perintahnya. Dan bersabar menjauhi larangannya.” Dawuh-nya
Kyai itu seakan memberi kekuatan, aku kembali mencoba bangkit. Ketika aku sudah
berdiri adzan berkumandang dari corong masjid. “aku harus cepat” gumamku dalam
hati. Air mataku menggenang walau tidak sampai menetes. Aku terus mencoba
melangkah walau sedikit tertatih menahan sakit di perut. Aku berwudlu dan
langsung ke masjid. Sesampainya di masjid iqomah membangkitkan semua santri untuk
segera melaksanakan salat berjamah. Kali ini aku berada di barisan belakang.
Sambil terus menahan sakit di perut juga pening di kepala aku paksakan untuk
bertakbir.
Sayup-sayup
di telinga kudengar mereka membicarakanku. Aku masih pura-pura tidur.
“Aku
masih curiga pada mufid.”
“Iya.
Mungkin dia sakit sekarang karena pengaruh bacaan surat Qiamat.”
“Dia
kan pernah ditindak oleh pak Ismail gara-gara berkelahi, jadi semuanya semakin
jelas kalau dia bukan orang baik-baik.”
“Tadi
dia pura-pura pingsan waktu salat subuh. Paling Cuma alasan tuh, biar
dikasihani.”
Aku
sangat mengenal suara mereka. Mataku sedikit sedikit membuka untuk mengintip,
namun aku masih pura-pura tidur. Air mata terasa mau tumpah namun aku tahan,
entah karena sakitku atau karena ucapan mereka. Tiba-tiba ujung tombak seakan
menusuk perutku. Aku bangun sambil merintih menahan perih. Mereka hanya
memandang dengan tatapan meremehkan. Hanya Rifqi yang perhatian padaku, dia
tergesa-gesa masuk dan menghampiriku.
“Kamu
kenapa?” Tanya Rifqi ramah.
Aku
hanya menggeleng kaku, memang tidak tau sedang sakit apa, karena sebelumnya aku
tidak pernah merasakan sesakit ini.
“Paling
dia cuma pura- pura Rif, nggak usah terlalu perhatian.” Celoteh Fadil yang
semakin menghujam ulu hatiku.
“Begitu
akibatnya kalau makan barang haram.” Sambung Khoiri bernada sinis.
Zaki
datang membawa sebungkus nasi dan satu tablet obat.
“Tadi
kamu pingsan ketika salat subuh. Aku minta tolong anak-anak untuk membawamu ke
sini.” Ujar Zaki ramah.
“Ini,
makan dulu, terus diminum obatnya ya.” Zaki membukakan bungkus nasi dan
meletakkkannya di depanku. Aku menggeleng. Aku yakin Zaki tidak menggunakan
uangku untuk membeli nasi itu. uangku hanya tinggal seribu tidak cukup untuk
membeli sebungkus nasi. Aku tidak ingin merepotkan siapapun. Karena kyai pernah
berpesan, seorang santri sebaiknya tidak meminjam uang.
“Makan
dulu Fid, kamu belum makan dari kemarin.” Zaki memaksa. Aku hanya menunduk,
memang dua hari sudah aku belum makan, kucukupkan perutku dengan air.
“Baiklah,
tapi kamu ikut makan.” Ucapku lirih membujuk Zaki, akhirnya dia setuju.
Sementara
itu, pak Ismail datang menanyakan keaadaanku, beliau berbincang-bincang dengan
Rifqi juga yang lain.
Sukri
berlari sambil berteriak. “Fid… Mufid…” Sampai di depan pintu dia tergagap. Aku
bisa merasakan bagaimana dia menahan malu pada pak Ismail yang sedari tadi di
kamar ini. Namun juga tidak bisa menahan senyum melihat tingkahnya begitu juga
teman yang lain. Tangannya menunjuk-nunjuk sesuatu, suaranya tertahan. Aku
penasaran apa yang ingin dia sampaikan. “Orangtuamu.” Akhirnya suara Sukri
keluar juga membawa senyum di bibirku mengembang.
Orangtuaku
tidak lama. Beliau hanya menyerahkan uang dan enam bungkusan nasi dalam plastik
merah besar. Jadi aku tidak sempat menceritakan keadaanku di sini. Tapi tidak
apa. Cukup bertemu dengan mereka semua masalahku seakan sudah luntur.
Di
kamar, bungkusan nasi itu dibuka memanjang. Kulihat satu-satu wajah tamanku
yang mengitari nasi, hanya lima orang.
“Khoiri
mana?” tanyaku pada mereka
“Dia
masih mengambil jemuran.” Jawab Zaki, tangannya sudah mencomot ikan.
“Kita
tunggu semuanya datang.” Aku kembali mengangkat tanganku yang sudah menyentuh
nasi. “Sukri tolong panggilkan Fadil. Tadi kulihat dia di serambi masjid.”
“Ya
akhi.”
Khoiri
terlihat girang memasuki kamar, tangannya membawa hem biru yang masih menyatu
dengan hanger-nya.
“Lihat
ini, ternyata uangku ada di saku, aku lupa menaruhnya, jadi aku cuci bersama
bajunya.”
“Ayo
cepat bergabung kami sudah siap berperang nih.” Zaki melancarkan candanya. Tak
lama, Fadil dan Sukri datang, tanpa diminta mereka segera mengisi celah yang
masih tersedia.
Ini
yang kurasakan sekarang hidup di pesantren, sebuah kebersamaan, kekompakan, dan
kasih sayang. Tiba-tiba “ssss.” Kuhirup angin lewat mulut menahan pedas.
“Kena
kau.” Ujar Zaki. Jadi ini yang dinamakan ranjau. Potongan cabe kecil yang
diselipkan dalam tahu atau dalan kepalan nasi.
“sssss.”
“sssss.” Fadil juga kepedesan diikuti Zaki.
“Sudah
dibalas. Langsung dua orang kena.” Ujarku tersenyum begitu juga teman-teman
yang lain. Fadil beranjak terlebih dahulu, tidak kuat menahan pedas.
“Satu
sudah K.O.” ujar Khoiri dengan suara kemenangan.
Ahirnya.
Dalam waktu dua menit kertas lilin itu sudah rata, tersisa butir yang
berserakan.
Aku
jadi teringat ujar Khoiri barusan. Jika uang Khoiri ada di sakunya, berarti
hanya uangku yang memang hilang ditelan bumi. Ikhlaskan saja sudah, dari pada
nanti berburuk sangka. Biarlah tetap menjadi rahasia Tuhan.
24
November 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar