Jumat, 17 November 2017

Rahasia Tuhan

Kuacak-acak lagi bajuku yang memang sudah berantakan. Mencari sesuatu yang sepertinya kuselipkan di bawah lipatan baju. Namun uangku sudah benar-benar hilang. Kira-kira tiga puluh ribuan yang kuletakkan di sana semalam. Kupejamkan mata menahan air yang hendak tumpah, kuraba saku kanan bajuku, meraih uang dua puluh ribu menatapnya penuh harap.
“Ini harus cukup untuk satu minggu.” Ucapku lirih.
Tiba-tiba Zaki muncul di depan pintu. Tergesa-gesa kumasukkan lagi uang itu ke dalam saku, segera kupalingkan wajah menatap lemari yang berantakan, kuusap genangan air mata yang tak sempat menetes.
“Kau sudah makan?” Tanya Zaki
“Aku masih kenyang.” Pura-pura memukul perutku perlahan sembari melempar senyum padanya. Dia hanya menggerakkan mulutnya seakan mengatakan “owh.” Sambil menganggukkan kepala. Lalu berjalan menuju lemari paling barat, mengambil sesuatu lalu keluar lagi. Aku hanya melihatnya dari balik jendela.
“Tiga ribu. Jangan lupa pake sambel.” Ucap Zaki pada Sukri, tangannya menyodorkan uang lima ribuan. Sukri hanya mengangguk dan pergi ke dhalem, dia seorang khodam yang sudah biasa melayani santri yang ingin membeli nasi. Dan Zaki kembali masuk lalu duduk di samping pintu. Aku hanya meliriknya sebentar, tanganku masih sibuk merapikan baju.
“Kamu akan ikut tes gelombang berapa?” suara Rifqi yang sepertinya berdiri di ambang pintu. Aku tidak menoleh, tanganku masih merapikan baju, yang beberapa langkah lagi akan selesai.
“Terserah kamu saja.” Jawabku seraya membalikkan badan dan menutup lemari.
“Bagaimana kalau gelombang pertama?” Tanya Rifqi. Dia lalu duduk hadapan Zaki. Aku pun duduk di tempatku berdiri.
“Kapan gelombang pertama dimulai?” Tanyaku mencari kepastian
“Malam sabtu ini.”
“nggak terlalu cepat?” Zaki ikut bicara.
“Dia kan baru dua hari mondok, kan tidak ada persiapan jika besok malam harus langsung ikut tes.”
“Dia bukan kamu. Sehari pun cukup untuk persiapan.” Sahut Rifqi memujiku sambil tersenyum.
“kalau gelombang kedua kapan?” Aku kembali bertanya.
“Sabtu depan.”
“Ya sudah gelombang kedua saja.” Pintaku pada Rifqi. Dia hanya mengangguk setuju.
“Zaki? ini nasinya.” Sukri di luar kamar membawa tiga bungkus nasi. Zaki pun keluar untuk mengambil nasi tersebut.
“Ini. Tolong berikan pada Fadil dan Khoiri.”
Zaki meletakkan dua bungkus di atas lemari Fadil. Dan satu di tangannya dia buka untuk dimakannya sendiri.
“Hayya takkulu biy.”
“Tafaddhol.” Jawab Rifqi. Aku hanya mengangguk walaupun tidak mengerti.
Aku melangkah ke luar namun bingung mau ke mana, di sini aku seperti terpenjara. Jika dikatakan kerasan, aku sering ingat pada rumah. Jika ditanyakan mau pulang, aku betah di sini banyak teman.
“Fid, mau ke mana?” Rifqi memanggil, langkahku terhenti di mulut pintu.
“Keliling pesantren.” Jawabku sambil menoleh pada Rifqi. Lalu sejenak melihat Zaki yang tengah lahap menyantap makanannya. Kuraba perut yang sedari tadi melantunkan syair penuh harap. Kupejamkan mata mencoba untuk menahan, dan kembali melanjutkan langkah.
Usai salat dhuha, aku meraih kitab di sampingku dan berjalan keluar masjid. Sampai di tangga masjid aku mencari sandal yang biasanya kutaruh di sini. Namun sekarang sudah raib entah ke mana. Aku mengelilingi sisi masjid, mungkin ada yang memindahkan. Tetap tidak ada, aku tidak tau harus mencari ke mana lagi.
Aku kembali ke asrama dengan wajah murung. Sabar. Ya, itu pelajaran pertama yang kudapatkan di pesanten ini, pesan Kyai sewaktu pengajian kitab beberapa hari yang lalu.
Di depan pintu kamar yang tertutup langkahku terhenti, aku terdiam mendengarkan perkataan Khoiri.
“… tadi sebelum pengajian kutaruh di sini.”
“Coba cari lagi mungkin terselip.” Jawab Zaki.
“Tidak ada. Sudah kuacak-acak semua bajuku.”
“Mungkin ada maling di kamar ini.” Ucap Yogi yang juga di dalam kamar. Aku tidak tau di dalam sana ada siapa saja, aku masih terus mendengarkan pembicaraan mereka.
“Padahal tahun lalu kamar ini aman-aman saja.” Seperti suara Fadil.
“Coba kau tanya anak baru itu.” Aku terperanjat mendengar tuduhan Yogi yang begitu jelas. Karena hanya aku yang baru di kamar ini.
“Jangan menuduh sembarangan.” Zaki membelaku.
“Kamu jangan membelanya.” Fadil membentak dengan suara kasar.
“Kamu kan juga baru kenal.” Yogi ikut angkat suara.
“Sebenarnya aku sudah curiga padanya.” Khoiri ikut-ikutan menuduhku.
“Dia kan lulusan SMP, mungkin saja dia sudah terbawa oleh kenakalan remaja.”
Beberapa saat terasa sepi. Segera aku membuka pintu, tanpa menoleh pada mereka, pura-pura tidak mendengar pembicaraan mereka barusan. Kubuka lemari, meletakkan kitab dan mengambil uang yang kuletakkan dalam buku. Kemudian keluar tanpa mengucap sepatah katapun. Aku ke koprasi untuk membeli sandal. Harganya sepuluh ribu, sebelum kembali ke asrama aku berfikir sejenak dengan sisa uang enam ribu di tanganku.
“Sudah dua hari aku selalu beli nasi kecil yang harganya dua ribu. Sekarang uang enam ribu ini harus cukup untuk lima hari kedepan. Mau tidak mau aku harus berpuasa.” Gumamku dalam hati.
Aku terus berjalan sambil merenung. Kakiku terus menendang-nendang batu kecil yang kujumpai, aku sudah berfikir untuk pulang saja, tidak betah jika lama-lama di sini.
“Hey…!” Seseorang yang tak kukenal menunjuk ke arahku.
“Kamu yang melempar batu ini?” aku hanya menggeleng melihat tubuhnya yang sedikit lebih besar dariku. Tatapannya tajam.
“Maaf. Maaf.” Ucapku memohon. Namun tatapannya semakin melotot, tangan kirinya menggenggam batu itu, tangan satunya mengepal siap melayangkan tinjunya. Pukulan pertamanya sigap kuhindari, begitu pula yang kedua. Wajahnya semakin merah, mungkin merasa dipermainkan. Lalu bertubi-tubi tanpa terkendali dia memukulku, namun aku berhasil menepis dan menghindari semua serangannya. Sejauh ini aku belum melawan, di SMP dulu aku dikenal sering berkelahi, jadi mudah saja aku melawan walau tubuhnya lebih besar.
Tiba-tiba ada pengurus melerai, kami berdua dibawa ke kantor madrasah. Nyaliku benar-benar ciut hari ini, aku merasa malu ditatap oleh puluhan santri dalam perjalanan kekantor. Aku hanya bisa menunduk dengan suasana seperti ini.
“Kenapa kalian berkelahi?” Bentak seorang pengurus dengan peci hitam. Aku tak berani mendongakkan kepala.
“Ini dua yang salah pak.” Seorang santri yang berkelahi denganku tadi, sembari tangannya menunjuk ke arahku. Tak ayal aku terkejut mendengar jawabannya.
“Benar kamu yang memulainya?” pengurus itu menatapku.
“Kamu kelas berapa?”
“Belum ikut tes-an.” Jewabku grogi. Keringatku mengalir.
“Kamu mau jadi jagoan? Masih baru sudah berani berkelahi. Benar kamu yang memulai duluan?”
“Iya…” jawabku terhenti. “Plak” tamparan mendarat di pipiku, padahal aku ingin menjelaskan bahwa aku tidak sengaja. Kutahan air mata yang akan menetes, bukan karena tamparan itu, tapi aku merasa ini tidak adil.
“Sudah, kamu kembali ke kamarmu.” Ucap pengurus itu pada seseorang yang mulai bernafas lega di sampingku. Lalu laki-laki yang menamparku barusan melihat ke arahku, tatapannya sedikit ramah, namun tetap menampakkan amarahnya.
“Berhubung kamu masih baru, saya tidak akan melapor orangtuamu. Tapi kamu harus berdiri di depan kantor sambil memegang tulisan ini. Kamu boleh kembali ke kamarmu jika adzan dhuhur sudah berkumandang.
“saya melanggar aturan pesantren. Saya telah berkelahi. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Begitu isi lembaran yang kupegang di depan dadaku.

Sekitar satu jam sudah aku berdiri, kulihat Khoiri tergesa-gesa menuju kantor. Aku mengira dia akan melaporkan uangnya yang hilang. Selang beberapa saat pengurus tadi keluar dan mermanggil seorang santri.
“Tolong panggilkan ketua kamar D13 dan semua anak buahnya.” Ujar laki-laki berpeci hitam itu pada santri yang segera berlari kecil ke utara melaksanakan titahnya. Hanya beberapa menit kulihat teman-temanku mendatangi kantor, mereka memandangku sejenak.
Zaki memanggilku dari pintu kantor. Aku memutar dan mendatanginya, sebenarnya masih bingung apa yang terjadi. Di kantor aku sempat melihat dari paling barat Khoiri, Rifqi, Fadil, Sukri, Yogi, Zaki dan aku duduk paling timur dekat pintu.
“Jangan-jangan kamu lagi yang bikin ulah?” Aku hanya menggeleng mendengar jawaban yang jelas-jelas menuduh seperti itu.
“Begini. Teman kalian ada yang melapor kehilangan uang.” Ujar pengurus satunya yang memiliki kumis dan jenggot tipis, penampilannya semakin berwibawa dengan baju takwa putih.
“Mungkin ada yang merasa ada yang mengambilnya. Sebaiknya mengaku sekarang, saya tidak akan memberi hukuman, justru saya yang akan mengganti uang tersebut. Tapi jika tidak ada yang mengaku dan suatu saat tertangkap basah mencuri lagi, kami sebagai pengurus akan memberi hukuman yang berat, dan mungkin akan dikeluarkan dari pesantren dengan cara tidak terhormat.”
Kulirik teman-temanku tertunduk, keringat dinginnya mengalir, semua tampak ketakutan. Ruangan berselimut hening, tak ada yang berani angkat bicara.
“Mana mungkin ada maling yang berani ngaku.” Gumamku dalam hati.
“Khoiri. Berhubung tidak ada yang mau ngaku, biar nanti saya baca surat kiamat saja. Sekarang, kalian boleh kembali ke asrama kalian.” Ujar pengurus yang berkumis tipis.
“Anak baru?” Aku menoleh, pengurus dengan peci hitam memanggil.
“Kamu tetap di sini dulu.” Aku pun duduk. Mengikuti perintahnya.
“Untuk hari ini kami ampuni. Tapi ingat, namamu sudah ada dalam catatan kami. Jangan sampai kamu melanggar lagi.” Aku hanya mengangguk. Dan segera beranjak meninggalkan kantor. Namun aku belum puas. Aku merasa dibebaskan dari hukuman yang jelas-jelas tak mendasar bahkan fitnah. Ah, sudahlah ini semua hanya salah faham. “Sabar” aku teringat lagi kata itu, menentramkan hati yang mulai kacau.
Seperti suara petir menggelegar. Aku membuka mata. Pintu digedor-gedor, bambu tipis di tangannya memukul apa saja di hadapannya. Memang demikian para ketua kamar membangunkan para santri. Biasanya jam tiga malam aku sudah di masjid untuk solat, sebelum ketua kamar membangunkan para santri. Tapi sekarang aku terlambat bangun, aku mencoba bangkit, namun tubuhku terasa berat, kepalaku seakan ditusuk oleh puluhan pisau dan perutku seperti ditimbun batu besar.
“Dik. Dik. Bangun bangun. Azan subuh sesaat lagi.” Seorang ketua kamar memukul tubuhku yang masih tertutup selimut. Lalu tanganku ditarik dengan kasar hingga aku terduduk. Perutku semakin perih, kutekan dengan tangan mencoba menahan sakitnya.
“Kamu kenapa?” ketua kamar itu bertanya dengan ramah. Aku tidak menjawab masih menahan sakit, kemudian aku ditidurkan dan selimutku dibetulkan kembali. Lalu dia segera keluar.
“Sebagai orang Islam hendaknya selalu berasabar. Apalagi seorang santri. Harus sabar dalam melaksanakan perintahnya. Dan bersabar menjauhi larangannya.” Dawuh-nya Kyai itu seakan memberi kekuatan, aku kembali mencoba bangkit. Ketika aku sudah berdiri adzan berkumandang dari corong masjid. “aku harus cepat” gumamku dalam hati. Air mataku menggenang walau tidak sampai menetes. Aku terus mencoba melangkah walau sedikit tertatih menahan sakit di perut. Aku berwudlu dan langsung ke masjid. Sesampainya di masjid iqomah membangkitkan semua santri untuk segera melaksanakan salat berjamah. Kali ini aku berada di barisan belakang. Sambil terus menahan sakit di perut juga pening di kepala aku paksakan untuk bertakbir.
Sayup-sayup di telinga kudengar mereka membicarakanku. Aku masih pura-pura tidur.
“Aku masih curiga pada mufid.”
“Iya. Mungkin dia sakit sekarang karena pengaruh bacaan surat Qiamat.”
“Dia kan pernah ditindak oleh pak Ismail gara-gara berkelahi, jadi semuanya semakin jelas kalau dia bukan orang baik-baik.”
“Tadi dia pura-pura pingsan waktu salat subuh. Paling Cuma alasan tuh, biar dikasihani.”

Aku sangat mengenal suara mereka. Mataku sedikit sedikit membuka untuk mengintip, namun aku masih pura-pura tidur. Air mata terasa mau tumpah namun aku tahan, entah karena sakitku atau karena ucapan mereka. Tiba-tiba ujung tombak seakan menusuk perutku. Aku bangun sambil merintih menahan perih. Mereka hanya memandang dengan tatapan meremehkan. Hanya Rifqi yang perhatian padaku, dia tergesa-gesa masuk dan menghampiriku.
“Kamu kenapa?” Tanya Rifqi ramah.
Aku hanya menggeleng kaku, memang tidak tau sedang sakit apa, karena sebelumnya aku tidak pernah merasakan sesakit ini.
“Paling dia cuma pura- pura Rif, nggak usah terlalu perhatian.” Celoteh Fadil yang semakin menghujam ulu hatiku.
“Begitu akibatnya kalau makan barang haram.” Sambung Khoiri bernada sinis.
Zaki datang membawa sebungkus nasi dan satu tablet obat.
“Tadi kamu pingsan ketika salat subuh. Aku minta tolong anak-anak untuk membawamu ke sini.” Ujar Zaki ramah.
“Ini, makan dulu, terus diminum obatnya ya.” Zaki membukakan bungkus nasi dan meletakkkannya di depanku. Aku menggeleng. Aku yakin Zaki tidak menggunakan uangku untuk membeli nasi itu. uangku hanya tinggal seribu tidak cukup untuk membeli sebungkus nasi. Aku tidak ingin merepotkan siapapun. Karena kyai pernah berpesan, seorang santri sebaiknya tidak meminjam uang.
“Makan dulu Fid, kamu belum makan dari kemarin.” Zaki memaksa. Aku hanya menunduk, memang dua hari sudah aku belum makan, kucukupkan perutku dengan air.
“Baiklah, tapi kamu ikut makan.” Ucapku lirih membujuk Zaki, akhirnya dia setuju.
Sementara itu, pak Ismail datang menanyakan keaadaanku, beliau berbincang-bincang dengan Rifqi juga yang lain.
Sukri berlari sambil berteriak. “Fid… Mufid…” Sampai di depan pintu dia tergagap. Aku bisa merasakan bagaimana dia menahan malu pada pak Ismail yang sedari tadi di kamar ini. Namun juga tidak bisa menahan senyum melihat tingkahnya begitu juga teman yang lain. Tangannya menunjuk-nunjuk sesuatu, suaranya tertahan. Aku penasaran apa yang ingin dia sampaikan. “Orangtuamu.” Akhirnya suara Sukri keluar juga membawa senyum di bibirku mengembang.
Orangtuaku tidak lama. Beliau hanya menyerahkan uang dan enam bungkusan nasi dalam plastik merah besar. Jadi aku tidak sempat menceritakan keadaanku di sini. Tapi tidak apa. Cukup bertemu dengan mereka semua masalahku seakan sudah luntur.
Di kamar, bungkusan nasi itu dibuka memanjang. Kulihat satu-satu wajah tamanku yang mengitari nasi, hanya lima orang.
“Khoiri mana?” tanyaku pada mereka
“Dia masih mengambil jemuran.” Jawab Zaki, tangannya sudah mencomot ikan.
“Kita tunggu semuanya datang.” Aku kembali mengangkat tanganku yang sudah menyentuh nasi. “Sukri tolong panggilkan Fadil. Tadi kulihat dia di serambi masjid.”
“Ya akhi.”
Khoiri terlihat girang memasuki kamar, tangannya membawa hem biru yang masih menyatu dengan hanger-nya.
“Lihat ini, ternyata uangku ada di saku, aku lupa menaruhnya, jadi aku cuci bersama bajunya.”
“Ayo cepat bergabung kami sudah siap berperang nih.” Zaki melancarkan candanya. Tak lama, Fadil dan Sukri datang, tanpa diminta mereka segera mengisi celah yang masih tersedia.
Ini yang kurasakan sekarang hidup di pesantren, sebuah kebersamaan, kekompakan, dan kasih sayang. Tiba-tiba “ssss.” Kuhirup angin lewat mulut menahan pedas.
“Kena kau.” Ujar Zaki. Jadi ini yang dinamakan ranjau. Potongan cabe kecil yang diselipkan dalam tahu atau dalan kepalan nasi.
“sssss.” “sssss.” Fadil juga kepedesan diikuti Zaki.
“Sudah dibalas. Langsung dua orang kena.” Ujarku tersenyum begitu juga teman-teman yang lain. Fadil beranjak terlebih dahulu, tidak kuat menahan pedas.
“Satu sudah K.O.” ujar Khoiri dengan suara kemenangan.

Ahirnya. Dalam waktu dua menit kertas lilin itu sudah rata, tersisa butir yang berserakan.
Aku jadi teringat ujar Khoiri barusan. Jika uang Khoiri ada di sakunya, berarti hanya uangku yang memang hilang ditelan bumi. Ikhlaskan saja sudah, dari pada nanti berburuk sangka. Biarlah tetap menjadi rahasia Tuhan.


24 November 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar