Pagi
itu Tuan Fahmi sedang duduk minum kopi di beranda belakang rumahnya yang besar
di kebon jeruk. Dia sudah tua. Umurnya sudah enam puluh tahun. Dan sebagai
orang tua maka dia amat cerewet dan suka menunjukkan dia kuasa. Dai sangat
keras terhadap anaknya bahkan babu pun terciprat api amarahnya. Dia baru saja
marah-marah pada babu, karena kopinya yang sangat hambar rasanya. Tak ada rasa
gulapun menyentuh lidah lunaknya. Segeralah dia memanggil babunya untuk
dimarahi, namun babu itu berdalih kalau kopi yang hambar itu terpaksa disajikan
karena gulanya telah habis. Dimarahilah si babu itu lagi sambil menyuruh babu
itu segera membeli gula.
Teriakan
girang anak tetangga di luar rumahnya menambah panasnya amarah yang terbenam di
hatinya, namun panas kopi di lidah lunaknya itu menolong juga sedikit.
Memberikan panas pada darahnya dan tubuhnya yang sudah mulai mendingin. Karena
terkejut, cangkir kopi di tangannya gemetar dan sedikit air kopi jatuh
mengotorkan baju kesukaannya.
“Jiangkrik!!!”
cetusnya, “Kenapa pagi-pagi selalu saja bocah-bocah jangkrik itu mengganggu
ketenangan untuk menyeruput kopi idamanku.”
Dia
mengeluh sambil mengelap bajunya yang terciprat air kopinya. Lalu dia langsung
menuju jendela dekat dpurnya sambil membuka paksa dengan kerasnya.
“Woy,
anak-anak sialan!!! Siapa tadi yang menyulutkan petasan pagi-pagi begini?!
Bikin jantung orang copot saj!” bentak Tuan Fahmi.
Seketika
itu anak-anak langsung diam seribu bahasa dengan meneteskan air peluh yang
panas dingin. Memang di perkampungan itu Tuan Fahmi sangat ditakuti oleh
anak-anak karena kegarangannya yang susah sirna.
Sembari
merasakan amarahnya yang meledak-ledak dilihatlah seorang anak laki-laki manis
yang ikut berdiri bagaikan patung di antara anak-anak lainnya. Dia adalah
Sulaiman, biasa dipanggil ayahnya Sule. Dia adalah putra Tuan Fahmi yang
merupakan anak kelimanya. Dia masih kecil, baru saja masuk SD. Dia lebih suka
berkumpul dengan ibunya di banding ayahnya karena ayahnya itu sangat kaku dan
keras.
“Sule!
Ngapain kamu disitu?!” bentak Tuan Fahmi. Tuan Fahmi tidak membiarkan anaknya
menjawab pertanyaannya.
“Ooo,
jangan-jangan kamu tadi yang meyulutkan petasan tadi ya?! Cepat pulang! Apa kau
pikir ayahmu ini tidak jantungan mendengar petasan yang meledak segitu
kencangnya hah?!!!”.
Tuan
Fahmi, umur enam puluh tahun, Bos besar pemilik kebon jeruk di kampungnya,
merasa benar anaknya menjadi kurang ajar. Hatinya amat marah. Ditambah pula
dengan rasa mendongkol dalam hatinya sejak pagi karena kopinya yang terasa
hambar. Dia berdiri di balik pintu rumah sambil menunggu Sule masuk ke dalam
rumah.
Dengan
berjalan penuh kepasrahan Sule berharap ayahnya tidak memukulinya lagi. Masih
terasa bekas pukulan ayah di pipinya kemarin ketika Sule pulang kerumah yang
hampir petang.
Sesampainya
di rumah ditemukanlah Sule sepasang mata merah di muka ayahnya yang siap
menusuk-nusuk jiwa Sule.
“Kamu
tidak mendengarkan apa yang ayah katakan kemarin? Hah!” gertak Tuan Fahmi.
“Sudah ayah katakan jangan lagi bermain dengan anak-anak jangkrik itu. Lihatlah
apa yang terjadi. Kau sekarang menjadi bandel dan susah diatur. Setelah seperti
ini apa yang ingin kamu lakukan? Bermain petasan lagi dan mati sia-sia seperti
abang kesayanganmu itu?!”.
Tuan
Fahmi kemudian menghela napas sesekali sambil menurunkan ledakan amarahnya yang
terlalu tinggi tadi. Dia paham perkataannya tadi menyakiti hati putra bungsunya
itu hingga meneteslah air mata yang mengalir di pipi comelnya itu. Wajar saja
Tuan Fahmi sangat keras terhadap Sule karena dia tidak mau nasibnya seperti
Khoiruddin, putra keempatnya.
Tuan
Fahmi lalu menggerakkan tangannya lalu menggenggam bahu putra bungsuya itu
dengan lembut.
“Dengarkan
ayah, patuhilah perkataan ayah dan jangan sampai kau mengingkarinya. Itulah
pentingya keluarga”.
Dengan
wajah penuh penyesalan dia meninggalkan putra bungsunya itu menuju kamarnya.
Tangan yang semula siap dilemparkan menuju pipi kiri putranya menjadi gemetar
penuh sesal.
Sesekali
mengusap air mata yang mengalir di pipnya yang diiringi napas tersedak-sedak,
Sule kembali mengingat masa-masa indahnya bersama abang kesayangannya yang kini
hanya menjadi ‘Golden Memories’ di lubuk hatinya. Dengan tubuh yang berdiri
lemas, dia berbalik memandang foto abang tercintanya yang terpajang bersih di
pojok ruang tamu.
“Bang
Komar jahat. Ninggalin Sule sendirian” rintih Sule.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar