Selasa, 28 November 2017

Contoh Bagaikan Roh


Pagi itu Tuan Fahmi sedang duduk minum kopi di beranda belakang rumahnya yang besar di kebon jeruk. Dia sudah tua. Umurnya sudah enam puluh tahun. Dan sebagai orang tua maka dia amat cerewet dan suka menunjukkan dia kuasa. Dai sangat keras terhadap anaknya bahkan babu pun terciprat api amarahnya. Dia baru saja marah-marah pada babu, karena kopinya yang sangat hambar rasanya. Tak ada rasa gulapun menyentuh lidah lunaknya. Segeralah dia memanggil babunya untuk dimarahi, namun babu itu berdalih kalau kopi yang hambar itu terpaksa disajikan karena gulanya telah habis. Dimarahilah si babu itu lagi sambil menyuruh babu itu segera membeli gula.
Teriakan girang anak tetangga di luar rumahnya menambah panasnya amarah yang terbenam di hatinya, namun panas kopi di lidah lunaknya itu menolong juga sedikit. Memberikan panas pada darahnya dan tubuhnya yang sudah mulai mendingin. Karena terkejut, cangkir kopi di tangannya gemetar dan sedikit air kopi jatuh mengotorkan baju kesukaannya.
“Jiangkrik!!!” cetusnya, “Kenapa pagi-pagi selalu saja bocah-bocah jangkrik itu mengganggu ketenangan untuk menyeruput kopi idamanku.”
Dia mengeluh sambil mengelap bajunya yang terciprat air kopinya. Lalu dia langsung menuju jendela dekat dpurnya sambil membuka paksa dengan kerasnya.
“Woy, anak-anak sialan!!! Siapa tadi yang menyulutkan petasan pagi-pagi begini?! Bikin jantung orang copot saj!” bentak Tuan Fahmi.
Seketika itu anak-anak langsung diam seribu bahasa dengan meneteskan air peluh yang panas dingin. Memang di perkampungan itu Tuan Fahmi sangat ditakuti oleh anak-anak karena kegarangannya yang susah sirna.
Sembari merasakan amarahnya yang meledak-ledak dilihatlah seorang anak laki-laki manis yang ikut berdiri bagaikan patung di antara anak-anak lainnya. Dia adalah Sulaiman, biasa dipanggil ayahnya Sule. Dia adalah putra Tuan Fahmi yang merupakan anak kelimanya. Dia masih kecil, baru saja masuk SD. Dia lebih suka berkumpul dengan ibunya di banding ayahnya karena ayahnya itu sangat kaku dan keras.
“Sule! Ngapain kamu disitu?!” bentak Tuan Fahmi. Tuan Fahmi tidak membiarkan anaknya menjawab pertanyaannya.
“Ooo, jangan-jangan kamu tadi yang meyulutkan petasan tadi ya?! Cepat pulang! Apa kau pikir ayahmu ini tidak jantungan mendengar petasan yang meledak segitu kencangnya hah?!!!”.
Tuan Fahmi, umur enam puluh tahun, Bos besar pemilik kebon jeruk di kampungnya, merasa benar anaknya menjadi kurang ajar. Hatinya amat marah. Ditambah pula dengan rasa mendongkol dalam hatinya sejak pagi karena kopinya yang terasa hambar. Dia berdiri di balik pintu rumah sambil menunggu Sule masuk ke dalam rumah.
Dengan berjalan penuh kepasrahan Sule berharap ayahnya tidak memukulinya lagi. Masih terasa bekas pukulan ayah di pipinya kemarin ketika Sule pulang kerumah yang hampir petang.
Sesampainya di rumah ditemukanlah Sule sepasang mata merah di muka ayahnya yang siap menusuk-nusuk jiwa Sule.
“Kamu tidak mendengarkan apa yang ayah katakan kemarin? Hah!” gertak Tuan Fahmi. “Sudah ayah katakan jangan lagi bermain dengan anak-anak jangkrik itu. Lihatlah apa yang terjadi. Kau sekarang menjadi bandel dan susah diatur. Setelah seperti ini apa yang ingin kamu lakukan? Bermain petasan lagi dan mati sia-sia seperti abang kesayanganmu itu?!”.
Tuan Fahmi kemudian menghela napas sesekali sambil menurunkan ledakan amarahnya yang terlalu tinggi tadi. Dia paham perkataannya tadi menyakiti hati putra bungsunya itu hingga meneteslah air mata yang mengalir di pipi comelnya itu. Wajar saja Tuan Fahmi sangat keras terhadap Sule karena dia tidak mau nasibnya seperti Khoiruddin, putra keempatnya.
Tuan Fahmi lalu menggerakkan tangannya lalu menggenggam bahu putra bungsuya itu dengan lembut.
“Dengarkan ayah, patuhilah perkataan ayah dan jangan sampai kau mengingkarinya. Itulah pentingya keluarga”.
Dengan wajah penuh penyesalan dia meninggalkan putra bungsunya itu menuju kamarnya. Tangan yang semula siap dilemparkan menuju pipi kiri putranya menjadi gemetar penuh sesal.
Sesekali mengusap air mata yang mengalir di pipnya yang diiringi napas tersedak-sedak, Sule kembali mengingat masa-masa indahnya bersama abang kesayangannya yang kini hanya menjadi ‘Golden Memories’ di lubuk hatinya. Dengan tubuh yang berdiri lemas, dia berbalik memandang foto abang tercintanya yang terpajang bersih di pojok ruang tamu.

“Bang Komar jahat. Ninggalin Sule sendirian” rintih Sule.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar