Selasa, 28 November 2017

Contoh Bagaikan Roh


Pagi itu Tuan Fahmi sedang duduk minum kopi di beranda belakang rumahnya yang besar di kebon jeruk. Dia sudah tua. Umurnya sudah enam puluh tahun. Dan sebagai orang tua maka dia amat cerewet dan suka menunjukkan dia kuasa. Dai sangat keras terhadap anaknya bahkan babu pun terciprat api amarahnya. Dia baru saja marah-marah pada babu, karena kopinya yang sangat hambar rasanya. Tak ada rasa gulapun menyentuh lidah lunaknya. Segeralah dia memanggil babunya untuk dimarahi, namun babu itu berdalih kalau kopi yang hambar itu terpaksa disajikan karena gulanya telah habis. Dimarahilah si babu itu lagi sambil menyuruh babu itu segera membeli gula.
Teriakan girang anak tetangga di luar rumahnya menambah panasnya amarah yang terbenam di hatinya, namun panas kopi di lidah lunaknya itu menolong juga sedikit. Memberikan panas pada darahnya dan tubuhnya yang sudah mulai mendingin. Karena terkejut, cangkir kopi di tangannya gemetar dan sedikit air kopi jatuh mengotorkan baju kesukaannya.
“Jiangkrik!!!” cetusnya, “Kenapa pagi-pagi selalu saja bocah-bocah jangkrik itu mengganggu ketenangan untuk menyeruput kopi idamanku.”
Dia mengeluh sambil mengelap bajunya yang terciprat air kopinya. Lalu dia langsung menuju jendela dekat dpurnya sambil membuka paksa dengan kerasnya.
“Woy, anak-anak sialan!!! Siapa tadi yang menyulutkan petasan pagi-pagi begini?! Bikin jantung orang copot saj!” bentak Tuan Fahmi.
Seketika itu anak-anak langsung diam seribu bahasa dengan meneteskan air peluh yang panas dingin. Memang di perkampungan itu Tuan Fahmi sangat ditakuti oleh anak-anak karena kegarangannya yang susah sirna.
Sembari merasakan amarahnya yang meledak-ledak dilihatlah seorang anak laki-laki manis yang ikut berdiri bagaikan patung di antara anak-anak lainnya. Dia adalah Sulaiman, biasa dipanggil ayahnya Sule. Dia adalah putra Tuan Fahmi yang merupakan anak kelimanya. Dia masih kecil, baru saja masuk SD. Dia lebih suka berkumpul dengan ibunya di banding ayahnya karena ayahnya itu sangat kaku dan keras.
“Sule! Ngapain kamu disitu?!” bentak Tuan Fahmi. Tuan Fahmi tidak membiarkan anaknya menjawab pertanyaannya.
“Ooo, jangan-jangan kamu tadi yang meyulutkan petasan tadi ya?! Cepat pulang! Apa kau pikir ayahmu ini tidak jantungan mendengar petasan yang meledak segitu kencangnya hah?!!!”.
Tuan Fahmi, umur enam puluh tahun, Bos besar pemilik kebon jeruk di kampungnya, merasa benar anaknya menjadi kurang ajar. Hatinya amat marah. Ditambah pula dengan rasa mendongkol dalam hatinya sejak pagi karena kopinya yang terasa hambar. Dia berdiri di balik pintu rumah sambil menunggu Sule masuk ke dalam rumah.
Dengan berjalan penuh kepasrahan Sule berharap ayahnya tidak memukulinya lagi. Masih terasa bekas pukulan ayah di pipinya kemarin ketika Sule pulang kerumah yang hampir petang.
Sesampainya di rumah ditemukanlah Sule sepasang mata merah di muka ayahnya yang siap menusuk-nusuk jiwa Sule.
“Kamu tidak mendengarkan apa yang ayah katakan kemarin? Hah!” gertak Tuan Fahmi. “Sudah ayah katakan jangan lagi bermain dengan anak-anak jangkrik itu. Lihatlah apa yang terjadi. Kau sekarang menjadi bandel dan susah diatur. Setelah seperti ini apa yang ingin kamu lakukan? Bermain petasan lagi dan mati sia-sia seperti abang kesayanganmu itu?!”.
Tuan Fahmi kemudian menghela napas sesekali sambil menurunkan ledakan amarahnya yang terlalu tinggi tadi. Dia paham perkataannya tadi menyakiti hati putra bungsunya itu hingga meneteslah air mata yang mengalir di pipi comelnya itu. Wajar saja Tuan Fahmi sangat keras terhadap Sule karena dia tidak mau nasibnya seperti Khoiruddin, putra keempatnya.
Tuan Fahmi lalu menggerakkan tangannya lalu menggenggam bahu putra bungsuya itu dengan lembut.
“Dengarkan ayah, patuhilah perkataan ayah dan jangan sampai kau mengingkarinya. Itulah pentingya keluarga”.
Dengan wajah penuh penyesalan dia meninggalkan putra bungsunya itu menuju kamarnya. Tangan yang semula siap dilemparkan menuju pipi kiri putranya menjadi gemetar penuh sesal.
Sesekali mengusap air mata yang mengalir di pipnya yang diiringi napas tersedak-sedak, Sule kembali mengingat masa-masa indahnya bersama abang kesayangannya yang kini hanya menjadi ‘Golden Memories’ di lubuk hatinya. Dengan tubuh yang berdiri lemas, dia berbalik memandang foto abang tercintanya yang terpajang bersih di pojok ruang tamu.

“Bang Komar jahat. Ninggalin Sule sendirian” rintih Sule.

Jumat, 17 November 2017

Rahasia Tuhan

Kuacak-acak lagi bajuku yang memang sudah berantakan. Mencari sesuatu yang sepertinya kuselipkan di bawah lipatan baju. Namun uangku sudah benar-benar hilang. Kira-kira tiga puluh ribuan yang kuletakkan di sana semalam. Kupejamkan mata menahan air yang hendak tumpah, kuraba saku kanan bajuku, meraih uang dua puluh ribu menatapnya penuh harap.
“Ini harus cukup untuk satu minggu.” Ucapku lirih.
Tiba-tiba Zaki muncul di depan pintu. Tergesa-gesa kumasukkan lagi uang itu ke dalam saku, segera kupalingkan wajah menatap lemari yang berantakan, kuusap genangan air mata yang tak sempat menetes.
“Kau sudah makan?” Tanya Zaki
“Aku masih kenyang.” Pura-pura memukul perutku perlahan sembari melempar senyum padanya. Dia hanya menggerakkan mulutnya seakan mengatakan “owh.” Sambil menganggukkan kepala. Lalu berjalan menuju lemari paling barat, mengambil sesuatu lalu keluar lagi. Aku hanya melihatnya dari balik jendela.
“Tiga ribu. Jangan lupa pake sambel.” Ucap Zaki pada Sukri, tangannya menyodorkan uang lima ribuan. Sukri hanya mengangguk dan pergi ke dhalem, dia seorang khodam yang sudah biasa melayani santri yang ingin membeli nasi. Dan Zaki kembali masuk lalu duduk di samping pintu. Aku hanya meliriknya sebentar, tanganku masih sibuk merapikan baju.
“Kamu akan ikut tes gelombang berapa?” suara Rifqi yang sepertinya berdiri di ambang pintu. Aku tidak menoleh, tanganku masih merapikan baju, yang beberapa langkah lagi akan selesai.
“Terserah kamu saja.” Jawabku seraya membalikkan badan dan menutup lemari.
“Bagaimana kalau gelombang pertama?” Tanya Rifqi. Dia lalu duduk hadapan Zaki. Aku pun duduk di tempatku berdiri.
“Kapan gelombang pertama dimulai?” Tanyaku mencari kepastian
“Malam sabtu ini.”
“nggak terlalu cepat?” Zaki ikut bicara.
“Dia kan baru dua hari mondok, kan tidak ada persiapan jika besok malam harus langsung ikut tes.”
“Dia bukan kamu. Sehari pun cukup untuk persiapan.” Sahut Rifqi memujiku sambil tersenyum.
“kalau gelombang kedua kapan?” Aku kembali bertanya.
“Sabtu depan.”
“Ya sudah gelombang kedua saja.” Pintaku pada Rifqi. Dia hanya mengangguk setuju.
“Zaki? ini nasinya.” Sukri di luar kamar membawa tiga bungkus nasi. Zaki pun keluar untuk mengambil nasi tersebut.
“Ini. Tolong berikan pada Fadil dan Khoiri.”
Zaki meletakkan dua bungkus di atas lemari Fadil. Dan satu di tangannya dia buka untuk dimakannya sendiri.
“Hayya takkulu biy.”
“Tafaddhol.” Jawab Rifqi. Aku hanya mengangguk walaupun tidak mengerti.
Aku melangkah ke luar namun bingung mau ke mana, di sini aku seperti terpenjara. Jika dikatakan kerasan, aku sering ingat pada rumah. Jika ditanyakan mau pulang, aku betah di sini banyak teman.
“Fid, mau ke mana?” Rifqi memanggil, langkahku terhenti di mulut pintu.
“Keliling pesantren.” Jawabku sambil menoleh pada Rifqi. Lalu sejenak melihat Zaki yang tengah lahap menyantap makanannya. Kuraba perut yang sedari tadi melantunkan syair penuh harap. Kupejamkan mata mencoba untuk menahan, dan kembali melanjutkan langkah.
Usai salat dhuha, aku meraih kitab di sampingku dan berjalan keluar masjid. Sampai di tangga masjid aku mencari sandal yang biasanya kutaruh di sini. Namun sekarang sudah raib entah ke mana. Aku mengelilingi sisi masjid, mungkin ada yang memindahkan. Tetap tidak ada, aku tidak tau harus mencari ke mana lagi.
Aku kembali ke asrama dengan wajah murung. Sabar. Ya, itu pelajaran pertama yang kudapatkan di pesanten ini, pesan Kyai sewaktu pengajian kitab beberapa hari yang lalu.
Di depan pintu kamar yang tertutup langkahku terhenti, aku terdiam mendengarkan perkataan Khoiri.
“… tadi sebelum pengajian kutaruh di sini.”
“Coba cari lagi mungkin terselip.” Jawab Zaki.
“Tidak ada. Sudah kuacak-acak semua bajuku.”
“Mungkin ada maling di kamar ini.” Ucap Yogi yang juga di dalam kamar. Aku tidak tau di dalam sana ada siapa saja, aku masih terus mendengarkan pembicaraan mereka.
“Padahal tahun lalu kamar ini aman-aman saja.” Seperti suara Fadil.
“Coba kau tanya anak baru itu.” Aku terperanjat mendengar tuduhan Yogi yang begitu jelas. Karena hanya aku yang baru di kamar ini.
“Jangan menuduh sembarangan.” Zaki membelaku.
“Kamu jangan membelanya.” Fadil membentak dengan suara kasar.
“Kamu kan juga baru kenal.” Yogi ikut angkat suara.
“Sebenarnya aku sudah curiga padanya.” Khoiri ikut-ikutan menuduhku.
“Dia kan lulusan SMP, mungkin saja dia sudah terbawa oleh kenakalan remaja.”
Beberapa saat terasa sepi. Segera aku membuka pintu, tanpa menoleh pada mereka, pura-pura tidak mendengar pembicaraan mereka barusan. Kubuka lemari, meletakkan kitab dan mengambil uang yang kuletakkan dalam buku. Kemudian keluar tanpa mengucap sepatah katapun. Aku ke koprasi untuk membeli sandal. Harganya sepuluh ribu, sebelum kembali ke asrama aku berfikir sejenak dengan sisa uang enam ribu di tanganku.
“Sudah dua hari aku selalu beli nasi kecil yang harganya dua ribu. Sekarang uang enam ribu ini harus cukup untuk lima hari kedepan. Mau tidak mau aku harus berpuasa.” Gumamku dalam hati.
Aku terus berjalan sambil merenung. Kakiku terus menendang-nendang batu kecil yang kujumpai, aku sudah berfikir untuk pulang saja, tidak betah jika lama-lama di sini.
“Hey…!” Seseorang yang tak kukenal menunjuk ke arahku.
“Kamu yang melempar batu ini?” aku hanya menggeleng melihat tubuhnya yang sedikit lebih besar dariku. Tatapannya tajam.
“Maaf. Maaf.” Ucapku memohon. Namun tatapannya semakin melotot, tangan kirinya menggenggam batu itu, tangan satunya mengepal siap melayangkan tinjunya. Pukulan pertamanya sigap kuhindari, begitu pula yang kedua. Wajahnya semakin merah, mungkin merasa dipermainkan. Lalu bertubi-tubi tanpa terkendali dia memukulku, namun aku berhasil menepis dan menghindari semua serangannya. Sejauh ini aku belum melawan, di SMP dulu aku dikenal sering berkelahi, jadi mudah saja aku melawan walau tubuhnya lebih besar.
Tiba-tiba ada pengurus melerai, kami berdua dibawa ke kantor madrasah. Nyaliku benar-benar ciut hari ini, aku merasa malu ditatap oleh puluhan santri dalam perjalanan kekantor. Aku hanya bisa menunduk dengan suasana seperti ini.
“Kenapa kalian berkelahi?” Bentak seorang pengurus dengan peci hitam. Aku tak berani mendongakkan kepala.
“Ini dua yang salah pak.” Seorang santri yang berkelahi denganku tadi, sembari tangannya menunjuk ke arahku. Tak ayal aku terkejut mendengar jawabannya.
“Benar kamu yang memulainya?” pengurus itu menatapku.
“Kamu kelas berapa?”
“Belum ikut tes-an.” Jewabku grogi. Keringatku mengalir.
“Kamu mau jadi jagoan? Masih baru sudah berani berkelahi. Benar kamu yang memulai duluan?”
“Iya…” jawabku terhenti. “Plak” tamparan mendarat di pipiku, padahal aku ingin menjelaskan bahwa aku tidak sengaja. Kutahan air mata yang akan menetes, bukan karena tamparan itu, tapi aku merasa ini tidak adil.
“Sudah, kamu kembali ke kamarmu.” Ucap pengurus itu pada seseorang yang mulai bernafas lega di sampingku. Lalu laki-laki yang menamparku barusan melihat ke arahku, tatapannya sedikit ramah, namun tetap menampakkan amarahnya.
“Berhubung kamu masih baru, saya tidak akan melapor orangtuamu. Tapi kamu harus berdiri di depan kantor sambil memegang tulisan ini. Kamu boleh kembali ke kamarmu jika adzan dhuhur sudah berkumandang.
“saya melanggar aturan pesantren. Saya telah berkelahi. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Begitu isi lembaran yang kupegang di depan dadaku.

Sekitar satu jam sudah aku berdiri, kulihat Khoiri tergesa-gesa menuju kantor. Aku mengira dia akan melaporkan uangnya yang hilang. Selang beberapa saat pengurus tadi keluar dan mermanggil seorang santri.
“Tolong panggilkan ketua kamar D13 dan semua anak buahnya.” Ujar laki-laki berpeci hitam itu pada santri yang segera berlari kecil ke utara melaksanakan titahnya. Hanya beberapa menit kulihat teman-temanku mendatangi kantor, mereka memandangku sejenak.
Zaki memanggilku dari pintu kantor. Aku memutar dan mendatanginya, sebenarnya masih bingung apa yang terjadi. Di kantor aku sempat melihat dari paling barat Khoiri, Rifqi, Fadil, Sukri, Yogi, Zaki dan aku duduk paling timur dekat pintu.
“Jangan-jangan kamu lagi yang bikin ulah?” Aku hanya menggeleng mendengar jawaban yang jelas-jelas menuduh seperti itu.
“Begini. Teman kalian ada yang melapor kehilangan uang.” Ujar pengurus satunya yang memiliki kumis dan jenggot tipis, penampilannya semakin berwibawa dengan baju takwa putih.
“Mungkin ada yang merasa ada yang mengambilnya. Sebaiknya mengaku sekarang, saya tidak akan memberi hukuman, justru saya yang akan mengganti uang tersebut. Tapi jika tidak ada yang mengaku dan suatu saat tertangkap basah mencuri lagi, kami sebagai pengurus akan memberi hukuman yang berat, dan mungkin akan dikeluarkan dari pesantren dengan cara tidak terhormat.”
Kulirik teman-temanku tertunduk, keringat dinginnya mengalir, semua tampak ketakutan. Ruangan berselimut hening, tak ada yang berani angkat bicara.
“Mana mungkin ada maling yang berani ngaku.” Gumamku dalam hati.
“Khoiri. Berhubung tidak ada yang mau ngaku, biar nanti saya baca surat kiamat saja. Sekarang, kalian boleh kembali ke asrama kalian.” Ujar pengurus yang berkumis tipis.
“Anak baru?” Aku menoleh, pengurus dengan peci hitam memanggil.
“Kamu tetap di sini dulu.” Aku pun duduk. Mengikuti perintahnya.
“Untuk hari ini kami ampuni. Tapi ingat, namamu sudah ada dalam catatan kami. Jangan sampai kamu melanggar lagi.” Aku hanya mengangguk. Dan segera beranjak meninggalkan kantor. Namun aku belum puas. Aku merasa dibebaskan dari hukuman yang jelas-jelas tak mendasar bahkan fitnah. Ah, sudahlah ini semua hanya salah faham. “Sabar” aku teringat lagi kata itu, menentramkan hati yang mulai kacau.
Seperti suara petir menggelegar. Aku membuka mata. Pintu digedor-gedor, bambu tipis di tangannya memukul apa saja di hadapannya. Memang demikian para ketua kamar membangunkan para santri. Biasanya jam tiga malam aku sudah di masjid untuk solat, sebelum ketua kamar membangunkan para santri. Tapi sekarang aku terlambat bangun, aku mencoba bangkit, namun tubuhku terasa berat, kepalaku seakan ditusuk oleh puluhan pisau dan perutku seperti ditimbun batu besar.
“Dik. Dik. Bangun bangun. Azan subuh sesaat lagi.” Seorang ketua kamar memukul tubuhku yang masih tertutup selimut. Lalu tanganku ditarik dengan kasar hingga aku terduduk. Perutku semakin perih, kutekan dengan tangan mencoba menahan sakitnya.
“Kamu kenapa?” ketua kamar itu bertanya dengan ramah. Aku tidak menjawab masih menahan sakit, kemudian aku ditidurkan dan selimutku dibetulkan kembali. Lalu dia segera keluar.
“Sebagai orang Islam hendaknya selalu berasabar. Apalagi seorang santri. Harus sabar dalam melaksanakan perintahnya. Dan bersabar menjauhi larangannya.” Dawuh-nya Kyai itu seakan memberi kekuatan, aku kembali mencoba bangkit. Ketika aku sudah berdiri adzan berkumandang dari corong masjid. “aku harus cepat” gumamku dalam hati. Air mataku menggenang walau tidak sampai menetes. Aku terus mencoba melangkah walau sedikit tertatih menahan sakit di perut. Aku berwudlu dan langsung ke masjid. Sesampainya di masjid iqomah membangkitkan semua santri untuk segera melaksanakan salat berjamah. Kali ini aku berada di barisan belakang. Sambil terus menahan sakit di perut juga pening di kepala aku paksakan untuk bertakbir.
Sayup-sayup di telinga kudengar mereka membicarakanku. Aku masih pura-pura tidur.
“Aku masih curiga pada mufid.”
“Iya. Mungkin dia sakit sekarang karena pengaruh bacaan surat Qiamat.”
“Dia kan pernah ditindak oleh pak Ismail gara-gara berkelahi, jadi semuanya semakin jelas kalau dia bukan orang baik-baik.”
“Tadi dia pura-pura pingsan waktu salat subuh. Paling Cuma alasan tuh, biar dikasihani.”

Aku sangat mengenal suara mereka. Mataku sedikit sedikit membuka untuk mengintip, namun aku masih pura-pura tidur. Air mata terasa mau tumpah namun aku tahan, entah karena sakitku atau karena ucapan mereka. Tiba-tiba ujung tombak seakan menusuk perutku. Aku bangun sambil merintih menahan perih. Mereka hanya memandang dengan tatapan meremehkan. Hanya Rifqi yang perhatian padaku, dia tergesa-gesa masuk dan menghampiriku.
“Kamu kenapa?” Tanya Rifqi ramah.
Aku hanya menggeleng kaku, memang tidak tau sedang sakit apa, karena sebelumnya aku tidak pernah merasakan sesakit ini.
“Paling dia cuma pura- pura Rif, nggak usah terlalu perhatian.” Celoteh Fadil yang semakin menghujam ulu hatiku.
“Begitu akibatnya kalau makan barang haram.” Sambung Khoiri bernada sinis.
Zaki datang membawa sebungkus nasi dan satu tablet obat.
“Tadi kamu pingsan ketika salat subuh. Aku minta tolong anak-anak untuk membawamu ke sini.” Ujar Zaki ramah.
“Ini, makan dulu, terus diminum obatnya ya.” Zaki membukakan bungkus nasi dan meletakkkannya di depanku. Aku menggeleng. Aku yakin Zaki tidak menggunakan uangku untuk membeli nasi itu. uangku hanya tinggal seribu tidak cukup untuk membeli sebungkus nasi. Aku tidak ingin merepotkan siapapun. Karena kyai pernah berpesan, seorang santri sebaiknya tidak meminjam uang.
“Makan dulu Fid, kamu belum makan dari kemarin.” Zaki memaksa. Aku hanya menunduk, memang dua hari sudah aku belum makan, kucukupkan perutku dengan air.
“Baiklah, tapi kamu ikut makan.” Ucapku lirih membujuk Zaki, akhirnya dia setuju.
Sementara itu, pak Ismail datang menanyakan keaadaanku, beliau berbincang-bincang dengan Rifqi juga yang lain.
Sukri berlari sambil berteriak. “Fid… Mufid…” Sampai di depan pintu dia tergagap. Aku bisa merasakan bagaimana dia menahan malu pada pak Ismail yang sedari tadi di kamar ini. Namun juga tidak bisa menahan senyum melihat tingkahnya begitu juga teman yang lain. Tangannya menunjuk-nunjuk sesuatu, suaranya tertahan. Aku penasaran apa yang ingin dia sampaikan. “Orangtuamu.” Akhirnya suara Sukri keluar juga membawa senyum di bibirku mengembang.
Orangtuaku tidak lama. Beliau hanya menyerahkan uang dan enam bungkusan nasi dalam plastik merah besar. Jadi aku tidak sempat menceritakan keadaanku di sini. Tapi tidak apa. Cukup bertemu dengan mereka semua masalahku seakan sudah luntur.
Di kamar, bungkusan nasi itu dibuka memanjang. Kulihat satu-satu wajah tamanku yang mengitari nasi, hanya lima orang.
“Khoiri mana?” tanyaku pada mereka
“Dia masih mengambil jemuran.” Jawab Zaki, tangannya sudah mencomot ikan.
“Kita tunggu semuanya datang.” Aku kembali mengangkat tanganku yang sudah menyentuh nasi. “Sukri tolong panggilkan Fadil. Tadi kulihat dia di serambi masjid.”
“Ya akhi.”
Khoiri terlihat girang memasuki kamar, tangannya membawa hem biru yang masih menyatu dengan hanger-nya.
“Lihat ini, ternyata uangku ada di saku, aku lupa menaruhnya, jadi aku cuci bersama bajunya.”
“Ayo cepat bergabung kami sudah siap berperang nih.” Zaki melancarkan candanya. Tak lama, Fadil dan Sukri datang, tanpa diminta mereka segera mengisi celah yang masih tersedia.
Ini yang kurasakan sekarang hidup di pesantren, sebuah kebersamaan, kekompakan, dan kasih sayang. Tiba-tiba “ssss.” Kuhirup angin lewat mulut menahan pedas.
“Kena kau.” Ujar Zaki. Jadi ini yang dinamakan ranjau. Potongan cabe kecil yang diselipkan dalam tahu atau dalan kepalan nasi.
“sssss.” “sssss.” Fadil juga kepedesan diikuti Zaki.
“Sudah dibalas. Langsung dua orang kena.” Ujarku tersenyum begitu juga teman-teman yang lain. Fadil beranjak terlebih dahulu, tidak kuat menahan pedas.
“Satu sudah K.O.” ujar Khoiri dengan suara kemenangan.

Ahirnya. Dalam waktu dua menit kertas lilin itu sudah rata, tersisa butir yang berserakan.
Aku jadi teringat ujar Khoiri barusan. Jika uang Khoiri ada di sakunya, berarti hanya uangku yang memang hilang ditelan bumi. Ikhlaskan saja sudah, dari pada nanti berburuk sangka. Biarlah tetap menjadi rahasia Tuhan.


24 November 2017

Kamis, 16 November 2017

Sebuah Pukulan


Beberapa hari telah berlalu, sebelumnya hanya dirimulah seorang wanita yang kucinta, jika aku lebahnya maka dirimulah bunga yang sungguh membuatku terpana.
Namun kini, seiring berjalannya waktu, di antara sekian banyaknya bunga yang kutemukan di sekitaranku, sekuntum bunga mulai menarik perhatianku, aku menyukai seorang wanita yang mana kau mengenal dirinya.
Aku tidak pernah bisa membaca apa yang kamu pikirkan tentang kedekatanku terhadapnya, dan aku tidak bisa menyimpulkan kecemburanmu padaku, karena aku tidak tahu bahwa dirimu juga menaruh perasan yang sama padaku kala itu.
Seiring berjalannya waktu, aku tahu dirinya telah ada yang menjaga, tetapi entah mengapa aku justru merasa nyaman berada di dekatnya. Saat itu aku tidak pernah tahu bahwa nyatanya kau cemburu, kau berusaha membalas kecemburuanmu kepadaku dengan menjalin hubungan dengan pria yang entah aku ketahui asal-usulnya.
Seiring berjalanya waktu, aku tahu aku cemburu pada dirimu. Aku tahu seberapa dalamnya perasaan cintaku padamu hingga kurasakan betapa sakitnya melihat kedekatanmu dengan pria lain.
Aku merasa bahwa benar dirimu juga menaruh rasa yang sama terhadapku, tapi nyatanya aku tidak bisa mengungkapkan apa yang kurasa itu kepada dirimu.
Seiring berjalanya waktu, luka di hatiku akibat dirimu terobati oleh dirinya, dirinyalah yang menemaniku, mendengarkan segala ceritaku tentangmu, dan itu terjadi kala aku melawan betapa sulitnya untuk melupakanmu.
Waktu-waktu terus berlalu, perlahan kulihat perubahanmu, nyatanya kini dirimu telah memutuskan hubungan dengan orang yang pernah membuatku cemburu terhadap dirimu.
Aku tahu, mungkin kamu merasakan seberapa sakitnya yang aku dapatkan ketika melihatmu bersama orang lain, dan kini biarlah kamu menanggung betapa sakitnya apa yang sebelumnya dirimu pernah berikan padaku.
Namun suatu hari, aku terjatuh sakit.
Nyatanya kamu masih menaruh rasa simpati padaku, sehingga mengajak teman-teman untuk menjengukku, aku menunggumu, dirinya serta teman-teman yang lainya.
Namun saat kutahu kecelakan yang menimpamu dan dirinya di jalan membuatku tergerak untuk segera mencari tahu kabarmu dan dirinya.
Aku melepas semua selang yang menempel di tubuhku, aku berlari menemui dirimu dan dirinya di ruang Gawat Darurat, saat kutanyakan kepada teman-teman tentang apa yang terjadi terhadap dirimu dan dirinya, nyatanya benar.
Kamu memanglah baik, kamu mengajak teman-teman menjengukku, dan suatu ketika teror terjadi di jalanan, polisi beradu tembak dengan kawanan penjahat, saat itu bus yang kamu dan dirinya serta teman-teman tumpangi berhenti dan semuanya berhamburan keluar.
Kala itu kamu berlari dan dirinya melihat dirimu dalam bahaya.
Mobil kawan penjahat itu melaju kencang ke arahmu, saat itu dirinya menyelamatkanmu dengan mendorongmu ke terotoar, saat itu betapa malang nasibnya, bersimbah darah di jalanan, kala itu dirinya yang terluka parah, menatapmu yang tak sadarkan diri, kamu tidak akan tahu, dirinya lebih memperhatikanmu ketimbang keadaan dirinya.
Aku menunggumu dan aku mendapati kamu akan kehilangan ingatanmu, dan aku mendapati kabar yang buruk lagi bahwa dirinya telah pergi meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.
Betapa sakitnya, betapa hancurnya, bagaikan berada dalam samudera yang tenang lalu awan hitam dan ombak menerjang perahu yang kutumpangi, bahkan meskipun teriris pisau sekalipun, takkan berbading dengan rasa sakit yang aku rasakan betapa aku kehilangan dirinya.
Bunga yang kucinta telah layu dan dicabut di pekarangan rumah pemiliknya, yang maha pencipta dan penguasa alam semesta telah mengambilnya dari kehidupan dunia yang fana, sungguh menyakitkan jika aku harus kehilangannya.
Seiring bergulirnya waktu, aku menghadiri pemakamannya, sungguh betapa inginnya ku memeluknya, memberikan senyum terakhirku untuknya, serta salam perpisan kepadanya, tetapi itu hanya sebuah keinginan yang takkan bisa dibayar dengan apapun di dunia yang fana.
Waktu-waktuku di sekolah, kini terisi untuk meratapi perasaanku kehilangannya, aku belum bisa untuk membayangkan bahwa dirinya telah tiada, namun bagaimanapun juga aku harus bisa untuk menerima takdir dari yang kuasa.
Kian hari kian banyak kuhabiskan untuk mencurahkan perasanku dengan sebuah tulisan, sekiranya inilah obat yang bisa kudapatkan untuk mengobati kesedihanku kehilangannya, dan kini muncul dirimu kembali dalam lingkup kehidupanku.
Saat teman-teman menceritakan apa yang terjadi kepadamu sewaktu kecelakan itu, aku melihatmu bersedih, mungkin kamu tahu itulah sebabku menjauhimu serta tak mau ada dirimu di dekatku.
Suatu hari, hujan rintik-rintik.
Di tengah pemakaman, aku melihatmu berdiri di hadapan peristirahatan dirinya, saat kulihat tanganmu mengusap patok peristirahatannya, kamu tidak tahu aku melihatmu, bahkan mengalirnya air matamu aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan adalah sama halnya dengan apa yang aku rasakan.
Suatu hari, aku berdiam di belakang kelas.
Aku mendengar, temanmu membacakan karya tulisanku “Di antara dua bunga yang memabukan”, dan betapa pandainya temanmu itu menafsirkan bahwa kedua bunga itu adalah dirimu dan dirinya yang telah pergi.
Temanmu juga menceritkan tentang kejadian kecelakaan itu, bahkan ketika temanmu menceritakan tentang cerita cintamu, diriku dan dirinya membuatmu bertanya banyak hal yang telah hilang dari ingatanmu, aku bisa merasakan kesedihanmu dari nada bicaramu.
Suatu ketika, aku berdiri di atas gedung sekolah, menunggu senja hilang di pelupuk mata.
Kamu berjalan menghampiriku, dan aku berdiri menghadap dirimu, kamu berjalan ke arahku dan kamu berkata
“maaf …, seharusnya waktu itu aku tidak seharusnya mengajak dia untuk menjengukmu!.”
“kamu salah!, kata maaf tidak seharusnya kamu ucapkan!, bagaimanapun juga itu adalah skenario sebuah kehidupan, aku tidak menyalahkanmu dalam hal ini.”
“tapi bagaimanapun juga, aku merasa bersalah melihat kamu seperti ini terus.”
“aku seperti ini, karena aku menghukum diriku sendiri, dan inilah hukaman yang bisa aku nikmati, ketika fajar menampakan diri semangat memulai hari sangatelah tinggi, terkadang di tengah hari sesuatu yang buruk bisa saja terjadi, dan kini senja telah tiba, aku ingin menikmati, sebelum gelapnya malam menampakan bintang yang bertaburan, dan aku ingin segera melihat bintang-bintang bertaburan.”
“bagaimana jika gelapnya malam ternyata tanpa bintang yang kamu inginkan?.”
“aku akan tetap menunggunya tampak.”
“bagaimana jika bunga yang dulu kau inginkan, benar-benar kau dapatkan?, apa kau akan tetap memilih bintang-bintang?.”
“bunga yang dulu kuinginkan telah didahului orang, aku telah mengenal bunga yang membuatku senang, namun hanya bertahan sementara sebelum sang pemilik mencabutnya, jika waktu bisa diputar ulang, aku akan tetap memilihnya.”
Saat mendengar jawaban terakhirku, kulihat dirimu terdiam, kamu menatapku dan kulihat kesedihanmu, kamu membalikan pandanganmu lalu pergi meninggalkanku.
Kini yang kudapatkan adalah sebuah pukulan, bukan sebuah cinta yang indah, bukanlah sebuah cinta yang membuat bahagia, ataupun cinta yang membuat kebanyakan orang tergila-gila dan dimabuk cinta.
Yang kudapatkan adalah apa yang dinamakan hukuman cinta.

Rabu, 01 November 2017

Rindu Keramaian Itu

“Hoaammm” terdengar suaraku pagi itu terbangun dari tidur pulasku. Kupandangi jam dindingku sudah terlihat menunjuk pukul 06.30 aku bergegas menuju kamar mandi karena tidak mau sampai terlambat sekolah karena sedang berlangsung usbn (ujian sekolah berstandar nasional).
Sesampaiku di sekolah seperti hari-hari biasanya aku selalu mampir ke kantin untuk sekedar membeli susu lalu aku pun duduk di kursi depan ruang ulanganku, namun tiba-tiba dalam lamunanku terngiang perasaan “takut” namun definisi takut yang berbeda aku takut bukan karena ada roh halus, takut tidak lulus dan lain sebagainya tapi, aku takut terpisah dari teman-temanku setelah lulus nanti entah untuk lanjut ke universitas, mengejar cita-cita, atau mungkin cerita cinta.
“Teng… teng… teng!!” suara lonceng masuk menyadarkanku dari lamunanku.
Ulangan hari itu pun selesai…
“Bill, gimana ulangan tadi?” tanya temanku Jodi
“Seperti biasa, gampang” jawabku sombong,
Kami pun menuju parkiran motor untuk bergegas pulang, seperti biasa kami selalu bertiga Aku, Adit, dan Hendri dan tak jarang Jodi ikut bersama kami.
Sesampai di rumah aku merebahkan diriku di pulau paling nyaman yang dinamai kasur, entah mengapa lamunanku tadi di sekolah mengikutiku sampai ke rumah dan aku pun dibawa bernostalgia atau dalam bahasa gaulnya “Flashback”. Kuingat saat pertama masuk sekolah tepatnya sd pada saat itu malu-malu dan masih ditemani ibuku, apalagi pas istirahat ibu menyuapiku dengan bekal yang dia masak sendiri dengan penuh rasa cinta, tak lupa setelah aku memasuki masa remaja masa dimana rasa canggung merajai diri para remaja masa dimana mulai mengenal namanya pacaran, sakit hati, baper, suka curi-curi pandang sama seseorang yang ditaksir. “Masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah” iya mungkin itulah kalimat paling tepat yang menggambarkan rasa takutku akan berpisah dengan teman-temanku.
Aku adalah tipikal lelaki yang gengsi tidak mau menunjukkan rasa takutku akan perpisahan setelah kami lulus. Ya, aku pandai sekali menyembunyikan rasa itu, kukira aku saja yang takut akan perpisahan nanti ternyata teman-temanku banyak yang mencuatkan isi hatinya entah dalam status facebooknya bahkan di caption Instagramnya, mereka merasa hal yang sama dengan aku.
“Yes aku tidak sendiri” pikirku merasa senang.
Aku rindu saat itu, saat dimana kita saling mengenal satu sama lain, aku rindu saat dimana kita berkelahi karena masalah sepele, dimana lagi kalau bukan di sekolah…
12 tahun yang singkat menjadi saksi perjalanan hidupku dari seorang bocah lelaki menjadi seorang yang bijaksana. “Bolehkah aku kembali kemasa kanak-kanakku? atau mungkin hanya sekedar dibawa melihat secara langsung bagaimana aku tumbuh dalam 12 tahun yang singkat ini.” Sekarang usiaku 17 tahun sebentar lagi akan genap 18 tahun rasanya cepat sekali. Masa SMA bagiku adalah masa paling indah dan yang pasti akan selalu dirindukan, rindu pada hal-hal konyol yang kita lakukan, rindu pada saat kita bertukar jawaban bahkan sampai nyontek, rindu saat kita bolos jam pelajaran, rindu cinta-cintaannya pokoknya rindu semuanya deh.
“Akankah kalian tetap menyayangiku besok?” satu kalimat muncul dalam benakku jika harus sampai pisah dari kalian teman-teman terbaikku. Aku minta maaf kepada kalian sahabat sahabatku kalau aku pernah berbuat salah karena sesungguhnya aku menyayangi kalian jauh di dasar hatiku terdalam, maaf kepada guru-guru yang pernah dibuat kesal karena ulahku, kuharap kita semua bisa jadi orang sukses nantinya dimasa depan.
“Saat pulang sekolah ingin rasanya untuk tidak kembali lagi, tapi aku selalu kembali karena ada kalian sahabat sahabatku. Karena rasa syukur lebih mulia daripada rasa cinta… Aku bersyukur bisa kenal kalian.”