Minggu, 15 Oktober 2017

Senyum Palsu


Butiran air mata di pipi ini sudah tak dapat kuseka lagi. Degup jantung dan hembusan napas seketika terhenti melihat orang terkasih mendekap tubuh wanita lain. Orang lain berkata aku bodoh? Orang lain berkata aku terlalu baik? Dan orang lain berkata dia tak pantas untukku? Hanya hati yang bisa menjawabnya. Aku terlalu lemah soal cinta, mungkin aku terlalu cengeng untuk semua ini dan kupikir dia adalah sosok cinta sejatiku.
6 bulan berlalu, Terasa sepi hati ini namun aku harus tetap menjalani hari unuk semua aktivitasku. Kuambil ransel berwarna coklat tua yang menggantung di paku kamar. Kulirik jam yang duduk di atas meja belajar, waktu menunjukan bahwa matahari sudah hampir berjalan di atas kepalaku. Dengan gesit aku mengambil kunci matic di saku parka favorit berwarna navy yang tepampang di belakang pintu kamar.
“Kamu mau ke mana, Nay?” Tanya wanita paruh baya yang sedang menggoreng telur mata sapi. Yang tak lain adalah ibuku.
“Mau ketemuan sama temen, maaa..” Jawabku sambil menggaet helm, dan buru-buru menyalakan motor matic putih yang terparkir di garasi.
10 menit berlalu, kuletakkan si putih di parkiran depan Pinky Cafe yag tak terlalu luas itu. Seperti namanya, tempat nongkrong itu berwarna merah muda dengan arsitektur modernnya, kecil namun berkelas.
“eh, gue kelamaan, gak?” Aku berkata tepat di belakang sahabatku, Mia dan Oca.
“Nanaayyy, lo ke mana aja sih, janji jam setengah dua belas siang malah datang jam segini” Sahut Oca.
“Emang sekarang jam berapa?” tanyaku.
“Jam dua belas kurang dua puluh menit, sih” Ujar Oca sambil melirik jam di pergelangan tangannya.
Aku dan mia hanya tertawa kecil mendengar Oca.
“Mau pesan apa, mbak?” tanya seorang lelaki bercelemek merah muda sembari menyodorkan buku menu ke arahku.
“Saya mau pesan…” Belum selesai menyebutkan pesanan, tiba-tiba pria itu menyebut namaku.
“Nayla.”
Aku terkesima seketika ketika melihat rupa pria itu, yang tak lain adalah kekasih masa laluku. Oca dan Mia hanya terdiam menatapku.
Dia adalah Glen, pria manis yang berhasil menurunkan kadar emosi karena kekecewaanku terhadapnya yang berlebih. Si lelaki tampan berpenampilan menarik yang sudah menjatuhkan air mataku berkali-kali namun aku masih mempertahankannya.
Air mata yang tiba-tiba mengalir, berhasil membuatku bangun dari lamunan pahit saat masih bersama dengannya, entah kenapa aku selalu ingin menitikkan air mata jika menatap wajahnya. Jutaan puisi cinta yang dia lontarkan sudah membuat hatiku tertutup untuk melepaskannya. Entah kenapa aku sekarang sudah merasa bodoh karena sudah mengenalnya.
“Saya pesan es cappucino, ya. Dingin, es nya banyakin, pesan 3, ya” Aku tersenyum sambil menyerahkan buku menu pada Glen.
Seketika pria itu pergi tanpa berkata sepatah pun.
“Kamu gak papa, Nay?” Tanya Mia sambil mengusap air mataku yang menetes ke pipi.
“Udahlah, Nay, dia bukan yang terbaik buat, lo. Lo cewek baik, gak pantes pertahanin buaya kaya dia.” Oca menatapku.
Sambil terus berkaca-kaca, aku berusaha memberikan senyuman manis untuk Mia dan Oca. Mereka mulai menjulingkan matanya, aku pun seketika tertawa kembali melihat aksi konyol kedua sahabat terbaik sedunia ini.
Andai luka bisa berbicara, mungkin aku tidak akan sekuat ini. Andai luka terus mengingatkan aku pada sebuah kenangan panjang, mungkin aku tidak bisa melupakan Glen. Ya, sampai saat ini aku belum bisa melupakan dia. Entah kenapa, hatiku masih mengarah kepadanya, entah kenapa wajahnya selalu terbayang di pikiranku. Meskipun hati serasa mati, tetapi aku masih mempunyai dua orang sahabat yang siap membuat hatiku hidup kembali. Aku masih bisa tersenyum lebar tanpa kehadiran Glen…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar