Butiran
air mata di pipi ini sudah tak dapat kuseka lagi. Degup jantung dan hembusan
napas seketika terhenti melihat orang terkasih mendekap tubuh wanita lain.
Orang lain berkata aku bodoh? Orang lain berkata aku terlalu baik? Dan orang
lain berkata dia tak pantas untukku? Hanya hati yang bisa menjawabnya. Aku
terlalu lemah soal cinta, mungkin aku terlalu cengeng untuk semua ini dan
kupikir dia adalah sosok cinta sejatiku.
6
bulan berlalu, Terasa sepi hati ini namun aku harus tetap menjalani hari unuk
semua aktivitasku. Kuambil ransel berwarna coklat tua yang menggantung di paku
kamar. Kulirik jam yang duduk di atas meja belajar, waktu menunjukan bahwa
matahari sudah hampir berjalan di atas kepalaku. Dengan gesit aku mengambil
kunci matic di saku parka favorit berwarna navy yang tepampang di belakang
pintu kamar.
“Kamu
mau ke mana, Nay?” Tanya wanita paruh baya yang sedang menggoreng telur mata
sapi. Yang tak lain adalah ibuku.
“Mau
ketemuan sama temen, maaa..” Jawabku sambil menggaet helm, dan buru-buru
menyalakan motor matic putih yang terparkir di garasi.
10
menit berlalu, kuletakkan si putih di parkiran depan Pinky Cafe yag tak terlalu
luas itu. Seperti namanya, tempat nongkrong itu berwarna merah muda dengan
arsitektur modernnya, kecil namun berkelas.
“eh,
gue kelamaan, gak?” Aku berkata tepat di belakang sahabatku, Mia dan Oca.
“Nanaayyy,
lo ke mana aja sih, janji jam setengah dua belas siang malah datang jam segini”
Sahut Oca.
“Emang
sekarang jam berapa?” tanyaku.
“Jam
dua belas kurang dua puluh menit, sih” Ujar Oca sambil melirik jam di
pergelangan tangannya.
Aku
dan mia hanya tertawa kecil mendengar Oca.
“Mau
pesan apa, mbak?” tanya seorang lelaki bercelemek merah muda sembari
menyodorkan buku menu ke arahku.
“Saya
mau pesan…” Belum selesai menyebutkan pesanan, tiba-tiba pria itu menyebut
namaku.
“Nayla.”
Aku
terkesima seketika ketika melihat rupa pria itu, yang tak lain adalah kekasih
masa laluku. Oca dan Mia hanya terdiam menatapku.
Dia
adalah Glen, pria manis yang berhasil menurunkan kadar emosi karena
kekecewaanku terhadapnya yang berlebih. Si lelaki tampan berpenampilan menarik
yang sudah menjatuhkan air mataku berkali-kali namun aku masih
mempertahankannya.
Air
mata yang tiba-tiba mengalir, berhasil membuatku bangun dari lamunan pahit saat
masih bersama dengannya, entah kenapa aku selalu ingin menitikkan air mata jika
menatap wajahnya. Jutaan puisi cinta yang dia lontarkan sudah membuat hatiku
tertutup untuk melepaskannya. Entah kenapa aku sekarang sudah merasa bodoh
karena sudah mengenalnya.
“Saya
pesan es cappucino, ya. Dingin, es nya banyakin, pesan 3, ya” Aku tersenyum
sambil menyerahkan buku menu pada Glen.
Seketika
pria itu pergi tanpa berkata sepatah pun.
“Kamu
gak papa, Nay?” Tanya Mia sambil mengusap air mataku yang menetes ke pipi.
“Udahlah,
Nay, dia bukan yang terbaik buat, lo. Lo cewek baik, gak pantes pertahanin
buaya kaya dia.” Oca menatapku.
Sambil
terus berkaca-kaca, aku berusaha memberikan senyuman manis untuk Mia dan Oca.
Mereka mulai menjulingkan matanya, aku pun seketika tertawa kembali melihat
aksi konyol kedua sahabat terbaik sedunia ini.
Andai
luka bisa berbicara, mungkin aku tidak akan sekuat ini. Andai luka terus
mengingatkan aku pada sebuah kenangan panjang, mungkin aku tidak bisa melupakan
Glen. Ya, sampai saat ini aku belum bisa melupakan dia. Entah kenapa, hatiku
masih mengarah kepadanya, entah kenapa wajahnya selalu terbayang di pikiranku.
Meskipun hati serasa mati, tetapi aku masih mempunyai dua orang sahabat yang
siap membuat hatiku hidup kembali. Aku masih bisa tersenyum lebar tanpa
kehadiran Glen…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar