Kamis, 26 Oktober 2017

Elok Lambai Dedaunan


Bel alarmku berbunyi. Kring… kring… Kring…
“Aira, bangun sayang,” panggil Bunda seraya menarik selimutku. Tepat pukul 04.00 itu tandanya aku harus bangkit dari tempat tidurku. Karena hari ini adalah hari pertamaku untuk masuk sekolah baru. Sekolah SMA yang selama ini aku idam-idamkan. Hari ini aku mengikuti pra-MOS. Perasaan antara senang dengan sekolah baru namun bingung nanti harus ngapain dan bawa apa.
Satu jam pun berlalu, aku berangkat dari rumah tepat pukul 05.30 sekalian bareng sama Ayahku karena memang sekolahku lumayan jauh. Tiba di sekolah, aku merasa terdampar di suatu pulau di mana aku menjadi orang asing di sana, aku sendirian, juga aku tak menemukan satu orang teman SMP-ku, entah ke mana mereka. Aku pun langsung menuju ke aula. Ternyata aku termasuk golongan yang ketinggalan, terpaksa deh aku mendapat barisan paling belakang. Setelah perkenalan bla-bla-bla dari panitia OSIS. Kini giliran perkenalan dari pendamping masing-masing kelas.
Tiba-tiba, “Subhanallah. Apa ini? Kenapa aku begini?” Detak jantungku berdetak sangat kencang. “Apakah orang itu yang membuat aku begini?” batinku seraya memandanginya.
“Apakah ini rasanya jatuh cinta? Ah.. tidak, mungkin ini hanyalah cinta monyet yang kebanyakan orang-orang katakan itu,” Aku pun berusaha untuk melupakannya. Setelah pembagian kelas, aku ditempatkan di kelas X-A. Bertemu teman-teman baru dan … “Oh tidak, kenapa aku bertemu dia lagi? Cowok itu? Kenapa harus dia yang menjadi pendamping kelasku?”
Sambil menghela napas, “Ya Allah, aku tidak ingin jatuh cinta, berikan aku rasa cinta di masa saat aku udah gede aja,” Harapanku semoga rasa ini akan musnah secepatnya.
Dua hari pra-MOS pun berlalu. Kini tantangan selanjutnya mengikuti MOS selama tiga hari harus aku taklukkan. Banyak tugas dan peralatan yang harus aku bawa. Pada saat hari terakhir pra-MOS, Kak Iva, Kakak pendamping kelasku meminta nomor handphone anak satu kelas agar lebih mudah untuk tanya-tanya tentang tugas MOS. Sementara itu, aku mendapat SMS dari nomor tak dikenal yang mengatas namakan, “pendamping kelas X-A” aku pun langsung berpikir mungkin Kak Iva. Bahkan tak terbesit sama sekali kalau ini nomornya orang itu. Itu pun aku abaikan.
Hari pun berlalu dan kini aku masuk hari pertamaku MOS. Aku merasa seperti orang gila. Tidaakk.. dengan topi, tas, kartu peserta yang semua dari barang bekas. Di hari-hari MOS pun banyak tugas dan tugas yang membuat aku stress sampai nangis-nangis. Demi tugas MOS ini pun aku rela untuk begadang dan tidur hanya tiga jam sehari. Meskipun begitu, tapi aku merasa sangat terbantu dengan adanya Kak Iva yang rela balesin SMS-SMS ku sampai larut malam.
Tiga hari berlalu dan kini saatnya MOS terakhir, senang sekali rasanya. Tapi berhari-hari bersamanya membuat aku mulai kagum sama dia dan… aku gak bisa ngelupain dia. Sebut saja, Kak Fadil. Mulai dari pertemuan pertama yang membuat aku tercengang. MOS kedua di saat tasnya berada di bangkuku. Dan MOS terakhir di saat baksos, waktu itu ada ulat di bahuku, dia yang tahu dan mindahin langsung dan gak ngaku kalau itu ulat. Mungkin dianya ingin aku gak kaget. Ahh… dan yang membuat aku terkesima adalah, dia kelas 12 IPA program kelas internasional, suaranya bagus, jago piano, jago basket, seorang muadzin, tinggi, de el el.
Gak tahu kenapa, untuk itulah aku memutuskan bahwa aku telah jatuh cinta. Jatuh cinta sama orang itu. Aku ingin hanya Allah dan aku yang tahu soal ini. Temen-temen aku pun juga gak ada yang curiga soal ini. Pulang dari MOS rasanya seperti berada di negeri Liberalis. FREE… aku pengen nonton tv bebas, SMS-an bebas, fb-an bebas. Semua serba free. Aku pun langsung ambil handphone dan SMS Kak Iva.
“kak, ini Kak Iva kan?” Dua kata yang membuat aku terkejut berkejut-kejut.
“bukan dek..”
“berarti ini Kak Fadil?” Jawabnya.
“iya, bener banget,” Seketika aku bingung, malu, ketawa, senyum-senyum, Semua ada. Bingung dan malu aku bales apa. Ketawa karena dia balesnya lebay pake kata, “bener banget”. Senyum-senyum karena ternyata yang selama ini aku ajak cerita-cerita berarti Kak Fadil. Oh my dog, eh god, setelah itu pun aku aku bener-bener gak berani SMS-an sama dia lagi.
Hari ini aku mulai pelajaran wajarnya kelas 10 baru. Berbeda banget sama pelajaran SMP. Memang sih, rasanya sedikit aneh,. Mulai sekarang harus belajar lebih giat dan lebih bersikap dewasa karena memang sekarang bukan anak kecil lagi. Tak ku sangka, setiap hari aku bertemu Kak Fadil. Hari demi hari selalu ketemu dia. Tapi setiap berpapasan aku selalu cuek dan menunduk. Karena aku memang begitu, aku takut dia bakal ngira bahwa aku orangnya sombong. Sebenarnya aku ingin sekali menyapanya, tapi nyali aku belum bisa untuk menjadi satu. Menurutku dia juga ingin menyapaku, tapi akunya yang selalu menunduk. Begitu juga di facebook, kita hanya berteman tapi gak pernah saking kenal. Hanya bisa memandanginya.
Aku merasa bosan pergi ke sekolah hanya untuk baca buku, dengerin guru, pulang. Aku butuh sesuatu yang baru untuk ini. Aku pun tertarik untuk ikut suatu ekstrakurikuler keilmiahan. Tanpa aku mengerti sebelumnya “kenapa selalu sama?” Dia ada di sini bahkan dia menjadi ketua di ekskul ini. Dan mulai dari sinilah aku mulai mengenalnya, aku berani senyum sama dia, aku mulai bicara sama dia, aku selalu hadir hanya untuk bertemu sama dia. Aku mulai akrab sama dia, di sekolah di facebook bahkan setiap hari SMS-an hanya untuk sekedar tanya kabar dan basa-basi soal pelajaran.
Di hari kumpul rutin ekskul, tiba-tiba dia memanggilku dan mengajakku untuk ikut suatu lomba karya ilmiah di sebuah universitas. Aku bingung karena belum berpengalaman soal lomba-lomba. Tapi dia memotivasiku untuk selalu untuk optimis dan percaya diri, akhirnya aku pun mau. Berhari-hari aku mengerjakan ini bersama dia, terkadang pun sampai rela pulang sore hari. Sampai tepat deadline kami pun mengirim karya ini melewati e-mail dan menunggu 5 hari lagi untuk presentasi, semua berjalan dengan lancar.
Sampai Kak Fadil ke kelasku dan membawa kabar bahwa kami mendapat juara 2. Aku pun langsung menjerit seketika dan senyam-senyum sendiri. Meskipun belum bisa menjadi yang pertama, tapi aku sangat bangga dengan ini semua. Dan di saat upacara hari senin, kita berdua dipanggil untuk mendapat penghargaan dari sekolah dan menyerahkan piala kami untuk sekolah. Betapa bangganya hati ini, hari paling bahagia di seluruh dunia ini. Tak akan pernah aku melupakan hal ini. Hal-hal yang selama ini aku lakukan bersamanya sangatlah berkesan bagiku. Mungkin bagi dia juga berkesan. Aku tak pernah berpikir bahwa Kak Fadil punya rasa sama aku. Malah aku berpikir bahwa Kak Fadil telah menganggapku sebagai partner atau mungkin adik. Aku telah mengikhlaskan hati ini. Mungkin yang selama ini aku rasakan adalah kagum sama dia, bukan cinta sama dia.
Aku pun kini telah semester 2 dan itu artinya Kak Fadil juga sudah saatnya untuk mempersiapkan UN. Sekarang dia jarang kumpul ekskul dan tidak lagi menjadi ketua. Jarang buka facebook, juga jarang ketemu dia. Aku pun memahami bagaimana dia sekarang. Ketika dia menanyakan kabarku lewat SMS, aku hanya membalas, “baik kak, sekarang waktunya Kakak fokus sama UN, kurangi hobi Kakak yang satu ini. Oke! Semangat..” sejak itu aku gak pernah SMS dia juga gak pernah bales SMS dia. Lama gak kontak sama dia sampai H-2 menjelang UN. Aku ketemu dia, aku merindukannya, aku tak sanggup untuk memandangnya. Aku hanya berkata, “kak, semangat buat besok. Jangan lupa berdoa” aku pun langsung meninggalkan dia. Aku takut dia bakal pergi, dia bakal ngelupain aku. Aku takut itu.
UN pun selesai. Ujian semester 2 pun telah aku lewati. Kini saatnya untuk farewell party. Perpisahan dengan kelas 12. Semua orang bergembira dengan acara ini tetapi tidak denganku. Meski kini aku sudah seperti dulu dengan Kak Fadil. Rasanya aku bakal jauh dengan dia. Tiba-tiba handphone di dalam tasku bergetar, aku mendapat pesan dari Kak Fadil.
“Ai, jangan pulang dulu. Pukul 3 aku tunggu di taman sekolah. Oke!” aku bingung apa maksud orang ini? Okelah aku turuti apa kata dia.
Tepat pukul 3 aku tiba di taman, tapi sekitar taman sepi. Ya udah deh, aku memutuskan untuk pergi. Tiba-tiba Kak Fadil muncul dari taman. Aku pun terkejut. Batinku, “ngapain coba orang ini?” Dia muncul dengan wajah berseri-seri dan berkata.
“Ai, sekarang aku anak mahasiswa. Kamu masih ingat dulu aku ingin ke mana? Teknik arsitektur, ITB. Aku keterima Ai…” Betapa gembiranya aku mendengar semua itu.
“Alhamdulillah kak, selamat ya! Cita-citamu tercapai. Aku turut senang mendengarnya. Betapa bangganya Ayah-Bunda kamu melihat kesuksesanmu dalam mencapai semua ini,”
“Makasih ya. Emm.. Ai, emm… tujuan aku ngajak ketemuan di sini. Sebenarnya aku, aku suka sama kamu. Aku cinta sama kamu. Kamu mau..,”
Deg. Seketika aku langsung berbalik badan. Aku bingung apakah selama ini Kak Fadil ada rasa sama aku.
“Ai..” dia memanggilku lagi. Aku tak percaya selama ini Kak Fadil ada rasa denganku. Bahkan aku juga pernah mendapat kabar burung bahwa Kak Fadil udah punya pacar anak Semarang. Apakah ini semua takdir? Aku pun tak dapat berkutik sama sekali.
“Kak.. sebenarnya, sebenarnya aku telah lebih dulu menyukai Kakak dari awal pertemuan kita. Tapi… aku gak bisa untuk menjadi milik Kakak. Bukan karena aku milik orang lain kak, aku hanya tidak ingin yang namanya pacaran. Jodoh udah ditentukan sama Tuhan, dan kita belum saatnya memikirkan itu, kita harus memikirkan studi kita dulu. Dan sampai waktunya. Jika kita jodoh, kita akan bertemu lagi. Oke!!” jawabku seraya meneteskan air mata.
“Aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia ini jika kamu menjadi milikku, Aira. Itu yang aku suka dari kamu, cara berpikirmu yang berlagak dewasa membuat aku kagum sama kamu. Aku mengerti maksudmu. Tapi aku ingin kamu mengingat satu hal.”
“Apa kak?” dengan wajah penasaran.
“Aku ingin kamu mengingat bahwa aku menyukaimu, aku mencintaimu. Kamu harus menungguku sampai aku menjadi orang sukses besok. Oke!!” Aku hanya tersenyum.
“Oke kak. Aku akan menunggumu, jangan kecewakan aku. Aku mencintaimu selalu,” batinku.

Minggu, 15 Oktober 2017

Senyum Palsu


Butiran air mata di pipi ini sudah tak dapat kuseka lagi. Degup jantung dan hembusan napas seketika terhenti melihat orang terkasih mendekap tubuh wanita lain. Orang lain berkata aku bodoh? Orang lain berkata aku terlalu baik? Dan orang lain berkata dia tak pantas untukku? Hanya hati yang bisa menjawabnya. Aku terlalu lemah soal cinta, mungkin aku terlalu cengeng untuk semua ini dan kupikir dia adalah sosok cinta sejatiku.
6 bulan berlalu, Terasa sepi hati ini namun aku harus tetap menjalani hari unuk semua aktivitasku. Kuambil ransel berwarna coklat tua yang menggantung di paku kamar. Kulirik jam yang duduk di atas meja belajar, waktu menunjukan bahwa matahari sudah hampir berjalan di atas kepalaku. Dengan gesit aku mengambil kunci matic di saku parka favorit berwarna navy yang tepampang di belakang pintu kamar.
“Kamu mau ke mana, Nay?” Tanya wanita paruh baya yang sedang menggoreng telur mata sapi. Yang tak lain adalah ibuku.
“Mau ketemuan sama temen, maaa..” Jawabku sambil menggaet helm, dan buru-buru menyalakan motor matic putih yang terparkir di garasi.
10 menit berlalu, kuletakkan si putih di parkiran depan Pinky Cafe yag tak terlalu luas itu. Seperti namanya, tempat nongkrong itu berwarna merah muda dengan arsitektur modernnya, kecil namun berkelas.
“eh, gue kelamaan, gak?” Aku berkata tepat di belakang sahabatku, Mia dan Oca.
“Nanaayyy, lo ke mana aja sih, janji jam setengah dua belas siang malah datang jam segini” Sahut Oca.
“Emang sekarang jam berapa?” tanyaku.
“Jam dua belas kurang dua puluh menit, sih” Ujar Oca sambil melirik jam di pergelangan tangannya.
Aku dan mia hanya tertawa kecil mendengar Oca.
“Mau pesan apa, mbak?” tanya seorang lelaki bercelemek merah muda sembari menyodorkan buku menu ke arahku.
“Saya mau pesan…” Belum selesai menyebutkan pesanan, tiba-tiba pria itu menyebut namaku.
“Nayla.”
Aku terkesima seketika ketika melihat rupa pria itu, yang tak lain adalah kekasih masa laluku. Oca dan Mia hanya terdiam menatapku.
Dia adalah Glen, pria manis yang berhasil menurunkan kadar emosi karena kekecewaanku terhadapnya yang berlebih. Si lelaki tampan berpenampilan menarik yang sudah menjatuhkan air mataku berkali-kali namun aku masih mempertahankannya.
Air mata yang tiba-tiba mengalir, berhasil membuatku bangun dari lamunan pahit saat masih bersama dengannya, entah kenapa aku selalu ingin menitikkan air mata jika menatap wajahnya. Jutaan puisi cinta yang dia lontarkan sudah membuat hatiku tertutup untuk melepaskannya. Entah kenapa aku sekarang sudah merasa bodoh karena sudah mengenalnya.
“Saya pesan es cappucino, ya. Dingin, es nya banyakin, pesan 3, ya” Aku tersenyum sambil menyerahkan buku menu pada Glen.
Seketika pria itu pergi tanpa berkata sepatah pun.
“Kamu gak papa, Nay?” Tanya Mia sambil mengusap air mataku yang menetes ke pipi.
“Udahlah, Nay, dia bukan yang terbaik buat, lo. Lo cewek baik, gak pantes pertahanin buaya kaya dia.” Oca menatapku.
Sambil terus berkaca-kaca, aku berusaha memberikan senyuman manis untuk Mia dan Oca. Mereka mulai menjulingkan matanya, aku pun seketika tertawa kembali melihat aksi konyol kedua sahabat terbaik sedunia ini.
Andai luka bisa berbicara, mungkin aku tidak akan sekuat ini. Andai luka terus mengingatkan aku pada sebuah kenangan panjang, mungkin aku tidak bisa melupakan Glen. Ya, sampai saat ini aku belum bisa melupakan dia. Entah kenapa, hatiku masih mengarah kepadanya, entah kenapa wajahnya selalu terbayang di pikiranku. Meskipun hati serasa mati, tetapi aku masih mempunyai dua orang sahabat yang siap membuat hatiku hidup kembali. Aku masih bisa tersenyum lebar tanpa kehadiran Glen…

Jumat, 06 Oktober 2017

Mohon Izin Surga


Di depan kesekretariatan tua itu, aku pertama melihat kamu, iya waktu pertama kamu menjadi MABA (Mahasiswa Baru). Disaat itu aku tertarik denganmu, dengan tingkah humorismu kamu membuat aku lebih menyatu denganmu. Tak terasa sudah 8 bulan lamanya aku menyimpan perasaan ini, entah rasa ini akan menjadi Bunga yang tumbuh merekah, atau menjadi bunga yang layu, biar aku rawat sendiri dulu.
Surga itu namanya, sesuai dengan namanya ketika aku berada di dekatnya terasa damai seperti di surga.
“Kak Jaya” sapanya kepadaku
“Iya, ada yang perlu aku bantu” jawabku
“Aku bosan dengan tugas, kapan” kita jalan yuk!” ajaknya kepadaku
“Boleh juga, nanti sore ke pantai gimana sehabis kuliah? Kamu selesai kuliah jam berapa?” Tanyaku kepadanya
“Aku kuliah cuma sampai setengah 4 sore kak” jawabnya
“Surga tidak keberatankan kalau nanti sore?” Tanyaku lagi
“Oh, tidak kak, kan surga yang ngajak, masa surga keberatan sih kak” jawabnya
Sepulang kuliah, aku bergegas kembali ke kost buat ganti baju, makan dan mandi, setelah itu hubungin surga. Setelah aku jemput dia kami pun bergegas menuju lokasi, setibanya di lokasi tepat 17.00 WIB, kami berdua asyik ngobrol di bawah senja yang kian meredup.
“Surga lihat Senja di sana yang begitu indah” kataku kepadanya
“Iya kak, emangnya kenapa dengan senja?” dia bertanya kepadaku dengan khas wajah polosnya yang begitu cantik
“Senja itu memberikan keindahan, namun sayang cuma sekejap lalu pergi meninggalkan gelap” jawabku padanya
“Ah, kak Jaya bisa aja” dia tersenyum manis.
“Surga, asal kamu tahu aku tuh cinta banget sama kamu, aku tak akan menjadi senja surga” kataku dalam hati, yang ingin berontak untuk keluar.
Sehabis senja kemudian kita berdua bergegas pulang.
Surga izinkan aku mencintaimu dari jauh yang tidak terlihat oleh orang, namun terlihat oleh-Nya, Surga izinkan aku menjagamu dari jauh yang tak terlihat oleh orang, namun terlihat oleh-Nya, entah sampai kapan aku biarkan bunga ini dalam hatiku, dan entah kapan waktu yang tepat untuk meberikan bunga ini kepadamu, Surga, izinkan aku merawat bunga ini sendirian, tanpa ragu terpetik dan layu, Surga, izinkan aku.

Rabu, 04 Oktober 2017

Hanya Secarik Kertas


Bagaikan ingin menggapai gemerlapan bintang jauh dari dalam dasar lubang cacing, begitu pula rasanya diriku berusaha mencari lembar-lembar ilmu. Yang begitu sangat mustahil bagi orang berpenampilan kumuh seperti ini, setiap hari hanya bergulat dengan batu, debu dan kerikil, serta peluh yang bagai air hujan mengguyur deras dari kepala sampai ke ujung kaki, setiap saat menanti harapan yang seakan membuat semangat hampir pupus.
Desa Batu, sebuah desa di dasar lembah pedalaman Flores yang sangat terisolir dari namanya teknologi, transportasi dan edukasi. Setiap hari penduduknya harus naik turun bukit hanya sekedar mendapatkan tetes-tetes air. Bagi orangtua di sana pendidikan bukanlah hal penting yang harus mereka pikirkan untuk anak mereka dan mungkin mereka juga tak tahu apa itu pendidikan. Bisa hidup sampai esok hari saja sudah merupakan hal yang baik dan teramat sangat membanggakan. Tiada hari tanpa bekerja dan tiada hari yang mereka kenal untuk belajar.
“Beta O Ina, cita-cita beta seorang guru, kelak beta akan mengajarkan ilmu yang banyak untuk anak-anak di sini, sehingga kami tak kan tertinggal lagi di kedalaman lembah”, setiap malam sebelum kembali ke peraduan, selalu kutekadkan itu di dalam hati berharap esok ada harapan cerah yang datang. Walaupun kami tinggal jauh dari keramaian, namun itu tidak serta merta membuatku ingin berpemikiran tertinggal pula, pernah terdengar olehku berita tentang sekolah di kota dan tentang bagaimana orang-orang di sana bisa sukses dari seorang paman, teman ayahku yang sesekali berkunjung ke sini. Saat itu seakan kulihat harapan bak sinar terang yang keluar dari batuan bukit, bagaimana bisa pendidikan membuat orang semaju ini?.
Paman Ori namanya, lelaki berumur 40 tahun yang sering berkunjung ke rumah, berperawakan ramah, bijak dan penyabar, ia adalah seorang guru. Setiap cerita yang ia bawa dari kota selalu membuka cakrawala pemikiranku, ingin pula rasanya diri ini bisa berpendidikan sepertinya. Paman itu pernah berjanji padaku, bahwa suatu hari ia akan mengajarkanku kalau memiliki waktu luang, rasanya tak sabar menunggu hingga saat itu tiba.
Kokok ayam membangunkan sang fajar, pagi dengan kabut tebal, udara sejuk serta bau-bau pepohonan beriringan bergantian dengan bau bebatuan yang begitu khas. Suasana pagi cerah di desa Batu, seperti biasa semua orang telah bangun dari awal, bersiap melanjutkan hidup mendaki bukit-bukit yang ada di sekitar lembah, berusaha mencari jalan-jalan air yang bisa ditampung dan mencari buah serta bahan makanan untuk dimasak, karena sepertinya belum ada satu tungku pun yang mengepul dari rumah-rumah yang tersusun rapi di lereng itu.
Tak ingin kalah oleh kokok ayam yang begitu bersemangat, aku pun mulai bergerak, berusaha membangunkan badan, mempersiapkan peralatan untuk mencari makanan, kayu bakar serta air di bukit. “kapan aktivitas ini bisa berganti dengan aktifitas lain, rasanya setiap hari hanya ini yang bisa kulakukan, memikirkan soal perut, perut dan perut, apakah tak bisa sekali saja aku bisa memikirkan tentang ilmu atau pelajaran seperti yang diceritakan paman Ori?”, mulutku bergumam sendiri, hanya semilir angin yang mendengar gerutuan itu, mataku nanar, merasa percuma karena angin tak bisa menjawab, buatku pergegas langkah. Sepertinya semua orang sudah pergi ke bukit, aku tak boleh terlambat kalau tidak nanti aku bisa sendirian saja di kaki bukit yang berhutan lebat.
Letak desa Batu yang berada di dasar lembah, berkelilingkan bukit-bukit berhutan lebat dan berbatu cadas, membuat desa ini benar-benar terisolir, jangankan kecanggihan teknologi yang mereka dapat. Bantuan medis, tenaga pendidik serta bahan makanan pokok pun tak terjangkau ke sana. Bukannya pemerintah tak ingin, namun transportasi yang tak memadai. Mungkin hanya segelintir orang yang telah terbiasa dan berurusan penting saja bisa ke desa ini. Hal ini menyebabkan anak-anak jauh dari namanya pendidikan, setiap hari mereka hanya disibukkan dengan urusan perut belaka. Entah kapan penduduk di sini bisa dijamahi oleh kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi dan entah kapan masanya anak-anak di sini dapat mengenyam namanya pendidikan, padahal mereka adalah harapan bangsa, dari tangan-tangan mungil mereka itulah kelak penentu ke mana negeri ini akan dibawa.
Sudah lebih dari 7 generasi keluargaku berada di kedalaman lereng ini, tak satu pun dari mereka mengenal apa itu sekolah, apa huruf itu dan apa gunanya angka-angka, bagaimana ilmu alam itu, bagaimana alam ini bisa terbentuk, tak satu pun yang paham. Pernah ku bertanya, bagaimana kupu-kupu bisa berubah dengan begitu indah, padahal ia berasal dari seekor ulat, bagaimana? dan seberapa panjang proses yang telah ia lalui?, sekali lagi tak ada yang bisa menjawabku. Tersadar diriku bahwa begitu lemahnya pemikiran orang yang tak berilmu, membuat ku tak ingin seperti mereka. Aku ingin seperti paman Ori.
Dulu pernah suatu ketika aku berkisah bodoh dengan selembar kertas, saat itu, seperti biasanya kulangkahkan kaki mendaki batuan bukit, tak sengaja tampak olehku selembar kertas kumuh, dengan gambar yang tak jelas lagi serta remukannya yang menggambarkan sudah terlalu lama kertas itu terbuang. Sepertinya peninggalan dari pendaki bukit yang sering melewati jalur setapak ini. Namun, penemuan kertas itu membuatku sangat girang, dengan begitu senangnya kupeluk kertas lusuh tak berbentuk itu, bak mendapat sebuah hadiah besar.
Setelah kuperhatikan lama sesuatu yang baru kutemukan itu, diriku terdiam sejenak, “apa yang ada di dalam kertas ini? apa arti semua tulisan yang beta tak mengerti ini? begitu banyak dan tersusun rapi, namun beta tak mengerti”.
Pergi berlari kuturuni batuan bukit, tak peduli tajamnya batuan kerikir menusuk kaki, kucari mama dan kutanyakan apa ini?, tapi mama juga tak mengerti kutemui oma-oma yang sedang menganyam, sama, mereka juga tak mengerti “bagaimana kau ini Ina, melihat anyaman ini saja oma tak bisa, apalagi kau suruh membaca bahasa yang tak pernah leluhur ajarkan”. Saat itu ku benar-benar tersadar, bak tertampar diri ini, betapa rendah dan jauh tertinggalnya kampungku, hanya untuk mengetahui isi selembar kertas saja pun tak bisa?.
Duduk terdiam ku di atas bebatuan di tepi hutan sambil memegangi kertas lusuh itu, sambil berpikr keras apa sekiranya isi kertas ini?. Dengan tak sengaja paman Ori menghampiri, ternyata ia baru saja sampai ke kampung. Kuutarakan semua kegalauanku, dan ternyata ia mengerti, dengan senyumnya yang simpul dibacakannya semua kata-kata yang ada di kertas, dan diajarkannya aku apa itu huruf dan bagaiman cara membacanya. Akhirnya ku mengerti, bahwa paman Ori lah orang yang sedari tadi seharusnya kucari, semakin bertambah kekagumanku pada sosok satu ini, kuberharap kelak bisa benar-benar sepert dirinya.
Suatu hari, paman Ori datang lagi ke rumah, namun kali ini ia tak datang dengan hanya berlenggang, sepertinya ia membawa sebuah bingkisan, apakah kiranya isi bingkisan itu?. Bertanya-bertanya sendiri, karena paman Ori selalu saja membawa kejutan kalau berkunjung ke rumah. Kejutan dari kisah-kisah barunya atau kejutan lainnya yang membuatku selalu menunggu kedatangannya. Dikeluarkannya bingkisan berbentuk kotak berbungkus biru, ternyata hanya sebuah kardus yang tampak tak ada istimewanya, “kenapa paman membawa kardus itu untuk kami, apa gunanya?”, pertanyaanku yang lugu dijawabnya dengan penuh wibawa “jangan lihat sesuatu dari luarnya, lihat dari apa yang ada di dalamnya, karena mungkin di dalam ini penuh dengan ilmu yang tak ternilai harganya”, mendengar kata ilmu membuatku antusias, apakah kiranya ini?.
Kardus terbuka tampak olehku tumpukan buku yang sesak mengisi setiap sudut, paman Ori memang selalu membawa kejutan yang tak terduga. Kubuka lembar demi lembar satu persatu, namun tak satupun yang bisa kumengerti. Maklumlah jangankan untuk membaca, huruf pun aku tak tahu, yang kutahu hanyalah jalan setapak menuju bukit melewati batuan tajam, dan tak ada bacaan yang harus kulihat untuk pergi ke sana.
Begitu tertinggalnya desa ini, sehingga semua penduduk di sana rata-rata buta huruf, termasuk kedua orangtuaku. Namun bagi mereka tak ada gunanya, mau mereka buta huruf atau pun tidak, toh tak ada pengaruh juga. Karena hidup mereka akan tetap berjalan seperti ini, tak ada perubahan. Pemikiran orang-orang desa memang sangat jauh tertinggal, mungkin hanya aku satu-satunya yang berharap adanya sekolah atau tenaga pendidik yang bisa mengajar di sini, karena aku sangat ingin untuk bersekolah. Sering kali aku diejek, karena teman-temanku memang tak mengerti. Akhirnya kucoba meminta bantuan pada paman Ori, untuk meminta permohonan pada orang di atas agar bisa melihat kami yang ada di bawah ini, jangan sampai kami benar-benar tenggelam jauh di dalamnya lembah ini, kami juga ingin seperti mereka yang di kota, “tolonglah paman, ina juga ingin seperti paman yang bersekolah, dan menjadi guru”.
Mendengar permintaanku yang tulus, membuat paman Ori tak tega untuk menolak. Ia berjanji kepadaku untuk mencarikan bantuan tenaga pendidik dan meminta bantuan pemerintah untuk menyalurkan bantuan seperti peralatan tulis, buku-buku pelajaran dan lainya, dengan sangat berharap orang-orang itu dapat memenuhi permintaan kami anak negeri yang tertinggal ini.
Hari berganti, minggu bertukar dan bulan pun saling bergiliran menempati posisinya, seakan waktu berlalu begitu cepat namun tak satu pun nampak janji yang terlanjur terucap itu terbukti, telah lama kami menunggu bantuan. Seribu harapan telah ku beri, tak mudah memang mengajak mereka untuk mau berpartisipasi, ditambah lagi dengan larangan orangtua yang membuat mereka terkekang, apakah kami ini tak pantas untuk sekolah juga? apakah waktu hidup ini hanya digunakan untuk bekerja naik turun melewati batuan itu? kapan batu itu bisa jelas ditulis seperti kertas?, kapan pemikiran mereka bisa berubah?
Sia-sia menunggu, tak jua ada yang datang, akhirnya ku kembali kerutinitas awal, kembali bergulat dengan bebatuan bukit. Tak heran memang walaupun seorang anak perempuan, namun, bagiku tanjakan bukit belumlah seberapa dibandingkan tanjakan hidup kedepan yang begitu tinggi.
Malam itu, langit cerah seakan menggambarkan setiap impian yang menjadi angan-angan, “mama tak mengerti mengapa Ina begitu ingin sekolah, bukankah percuma? hidup kita akan seperti ini saja toh”, pertanyaan mama kujawab dengan singkat “beta ingin merubah”, “apa yang ingin Ina rubah?”, “pemikiran kita mama, desa kita, generasi-gerasi penerus biar kita bisa maju”, hanya anggukan yang kuasa mama berikan padaku pengganti kata. Semangat hati akhirnya diakui oleh keluarga, sekarang tinggal menunggu kesempatan yang telah dijanjikan itu.
Suatu ketika, ditengah teriknya mentari, peluh berjatuhan setelah berulang kali turun naik bukit, tampak serombongan orang dari atas bukit yang sepertinya ingin turun ke lembah, orang-orang desa Batu merasa heran, ada apakah gerangan? ternyata janji paman Ori berbulan-bulan yang lalu terwujud juga.
“Pondok Pintar” begitulah namanya, terpampang jelas di depan sebuah bangunan, 2 bulan sudah pondok ini berdiri. Setelah kedatangan rombongan paman Ori beberapa bulan yang lalu, akhirnya para pendidik itu bisa mendirikan pondok untuk anak-anak di sini, seperti keinginan O Ina yang begitu besar untuk sekolah. Cerita paman Ori tentang O Ina membuka hati orang-orang besar di sana, sehingga mereka mendapat bantuan untuk mengajar di desa batu, walaupun diawal sangat sulit membuka hati orangtua agar bisa melepas anaknya untuk sekolah dan tidak bekerja lagi, namun si kecil O Ina dengan bujuk rayunya membuat mereka mengerti.
Sekarang paman Ori paham bahwa, walaupun desa ini tertinggal namun tak semuanya berpemikiran tertinggal pula, semangatku mengidolakannya membuka hati orang banyak, begitu pula kisahku dengan selembar kertas telah menyentuh relung hati paman Ori, tak ada yang tak mungkin dengan harapan dan api semangat, tak ada yang mustahil. Mungkin untuk kita menjadikan kertas di tumpukan batu, dan mungkin juga kita menggapai bintang di lubang cacing, dan sekarang aku tahu bahwa butuh proses satu bulan untuk menjadi kupu-kupu berarti juga butuh proses lama bagiku untuk bisa sukses seperti paman Ori.


14 November 2017