Minggu, 17 September 2017

Haram Membaca Tanpa Membayangkan


“Melangkah, menjauhi, atau berdiam?”
Kupandangi buku usang yang ada di atas meja belajar reot yang kududuki, bersampul dengan kertas kalender bekas yang kuminta pada toko kelontong tempat ayah bekerja. Buku ini seakan-akan telah menjadi teman, sahabat, bahkan saudaraku. Tiap lembar perlembar semuanya terisi dengan tulisan-tulisan harapan yang membumbung tinggi. Untukku seorang anak yang memiliki ayah seorang kuli dan ibu sebagai pencuci baju keliling, yang gajinya pas-pasan untuk biaya hidup sangatlah berarti bagiku sebuah buku ini. Di penghujung hari selalu kurutinkan untuk menulis meskipun tulisan itu terkadang hanya sepenggal cerita yang kualami pada hari itu.
Hari ini buku harianku habis, aku merengek pada ayah untuk meminta uang Rp 3.000 untuk membeli buku yang baru. Namun tatapan ayah datar, seakan-akan mengatakan “teteh, jangan hari ini ya, dompet ayah lagi tipis nih”. Belum sempat ayah mengatakan hal tersebut.
“Nggak jadi yah, teteh nulis di kertas-kertas bekas aja yang ayah bawa kemarin untuk dijual. Nggak papa kan yah, teteh ambil sekitar 10 lembar?”
Ayah hanya mengangguk tersenyum sambil mengelus kepalaku. Ayah berlalu meninggalkanku di ruang tamu merangkap jadi dapur. Air mataku menetes menangisi kehidupan yang pahit ini.
Aku bergegas mengambil beberapa lembar kertas bekas yang ada di balik pintu. Seketika itu ibu datang menghampiriku,
“Teh, maaf ya kita sekarang belum punya uang untuk membeli buku baru untuk teteh, untuk makan hari ini aja hanya ada Rp 2.000 untuk beli kerupuk sebagai ganti lauk kita makan malam ini nak” kata ibu.
Dengan sigap kuraih tangan ibu dan menciumnya dengan bersimbah air mata.
“Ibu, teteh nggak maksa kok. Lebih baik teteh nggak nulis dulu dari pada kita nggak makan. Ibu jangan seperti ini, teteh tahu kalau ayah sama ibu selalu mengikuti kehendak kami, tapi jangan pernah memaksa keadaan bu. Teteh sekarang udah gede, jadi jangan pernah menutupi semuanya dari teteh.” Jawabku dengan bersimbah airmata.
Dengan sigap ibu memelukku, dan mencium keningku dengan wajah yang sendu.
“Nak, tugasmu hanya belajar dengan sungguh-sungguh dan beribadah dengan sungguh-sungguh, minta sama Allah agar kita selalu berada dalam lindungan-Nya” kata ibu seraya mengelus kepalaku yang tertutup dengan hijab yang usang.
Awalnya aku hanya ingin mengambil sekitar dua atau tiga lembar, namun aku mengambil 3 kali lipat. Malam ini aku ingin menulis lebih banyak, aku ingin menangis lebih lama, aku ingin bercerita lebih panjang. Kejadian hari ini seakan-akan mencekikku menyuruhku mengingatnya lebih lama dan lebih berbekas. Memang tak jarang kami mengalami kekurangan uang untuk makan, namun yang kali ini sangat berbeda. Atau mungkin karena aku telah beranjak dewasa membuatku lebih sensitif dengan kejadian-kejadian yang kualami.
Setelah kejadian itu tak jarang aku melihat ayah berada di rumah. Aku dan adikku bertemu ayah hanya pada malam hari, itu pun ketika kami akan tidur. Buku harianku kali ini dibelikan khusus oleh ayah, ayah bilang ini sebagai gantinya keterlambatan mengganti buku harianku kemarin. Ayah juga membelikan adikku sebuah boneka panda yang menggigit bambu kesukaannya, apakah ini alasan ayah untuk menghabiskan waktunya dengan bekerja dan bekerja.
Jarum jam terus berjalan tanpa mempedulikan begitu beratnya waktu-waktu yang kujalani. Aku melirik kejam dinding yang polontos, jarum jam tepat berada dipukul 01.30, tengah malam. aku menyusuri dinding rumah yang berwarna putih telah berubah menjadi warna coklat, mataku tertuju pada tirai pintu yang berwarna merah, dimana di balik tirai itu ada orang-orang yang selalu menjadi alasanku terus bermimpi, mimpi yang tinggi untuk membawa mereka kekehidupan yang lebih layak dan indah. Mataku menatap nanar, tak terasa airmataku jatuh membasahi pipiku. Aku mengintip di balik tirai merah, kulihat wajah-wajah penuh ketegaran dalam hal apapun. Airmataku semakin deras, kulihat jemari ayah penuh dengan plester dan kening ibu yang tertempelkan koyok cabe. Wajah letihnya semakin tampak, aku menggenggam tangan ayah dan menciumnya hinggaku sesegukkan menangis membuat ayah dan ibu terbangun.
“Teh, teteh kenapa nak?” tanya ayah dan ibu
“Sini, sama ibu” kata ibu seraya memelukku untuk meredakan tangisku
Aku hanyut dalam tangisku tak terasa pundak ibu basah dengan airmataku. Aku tak mampu berucap, hanya suara tangis yang keluar dari bibirku.
“Apa yang terjadi nak? Kenapa teteh menangis? Karena ayah? Ibu?”
Aku hanya bisa menggeleng.
“Yah, jangan tanya dulu, menangislah nak, ibu tahu apa yang teteh rasakan”
“Ayah, ibu andaiku bisa memiliki tongkat ajaib, hanya satu yang aku inginkan aku ingin menyulap pintu syurga selalu terbuka untuk kalian, syurgalah yang pantas jadi kado terindah”
Aku tak mampu berucap hingga sepatah kata pun tak mampu kuucapkan. Pelukan ibu semakin erat membuatku tertidur di pelukan hangatnya.
Semakin bertambahnya pekerjaan ayah, tak jarang membuat beliau keluar masuk rumah sakit. Selama ini ayah hanya menderita tipes, namun sekarang bukan hanya tipes tetapi asam uratnya yang terus kambuh, rematik, paru-paru basah, dan sekarang ditambah lagi diabetes. Kesehatan ayah semakin surut dan keuangan kami pun ikut menyurut. Dengan berbagai penyakit yang ayah idap membuat beliau tak kuat untuk bertahan. Ayah pergi lebih awal menghadap ilahi, karena kolestrolnya yang meningkat drastis. Ayah wafat tepat di hari ultahku. Hari ini harusnya ayah datang dengan membawa kue dan makanan-makanan ringan seperti sate atau bakso. Namun kali ini kado ultahku dari ayah adalah airmata.
Setelah kepergian ayah ibu sangat terpukul, hingga membuat hari-harinya kelam. Tak jarang ibu menangis ketika malam hari. Keluarga kami menjadi suram tanpa ada gelak tawa lagi di antara kami.
pulang sekolah aku tak melihat ibu dan adikku berada di rumah. Aku yang sedari tadi menahan lapar selama di sekolah, bergegas ke dapur dan membuka tudung. Tudung yang kubuka diam membisu menatapku lirih, seakan merasakan apa yang kurasakan.
“Oh Tuhan, cobaan ini sangat berat hingga membuat kami menjadi orang yang sangat tak berdaya. Haruskah aku menitikkan airmata yang pertama kali setelah Engkau mengambil ayahku? Aku telah berusaha menjadi anak yang kuat, tabah, dan sabar menghadapi masalah ini. Tapi apakah ibu harus menjadi orang yang tak peduli sehingga ia melupakan tanggung jawabnya sebagai ibu sekaligus ayah? Tuhan jangan biarkan ini bertahan lama.” Ucapku lirih dalam hati.
“Assalamualaikum” terdengar suara ibu di luar.
“Walaikumsalam” jawabku dan dengan segera menghapus airmata.
Aku melihat ibu dan adikku membawa 2 bungkus kecap manis, dengan wajah yang sangat riang. Aku hanya diam membisu melihat ibu dan adikku berlalu.
“Teh, ayo makan sini nak” panggil ibu yang membuyarkan lamunanku.
Aku bergegas ke dapur, namun aku tak menemukan lauk maupun nasi di bawah tudung.
“Teh, hari ini kita makan bubur aja ya? Soalnya tadi beras kita hanya tinggal 1 canting. Jadi ibu buatin bubur biar jadi banyak” kata ibu dengan wajah yang terpaksa harus tersenyum.
Aku hanya diam menahan tangis yang hampir pecah. Aku melihat adikku sangat lahap memakan bubur tanpa rasa yang hanya dicampur dengan kecap manis. Perih hati ini, aku telah berburuk sangka pada ibuku sendiri.
“Hari ini di kantong ibu hanya tinggal uang Rp 500 dan beras 1 canting. Minyak tanah untuk menghidupkan kompor pun tak tersisa, akhirnya ibu masak menggunakan kayu bakar dan plastik sebagai ganti minyak tanahnya. Korek pun hanya tinggal beberapa batang, ibu menghidupkan apinya dengan sangat hati-hati. Kejadian itu tak akan pernah hilang dari ingatanku, tak akan pernah. Jika kita hanya membaca tanpa membayangkan, itu tak akan membekas dan kita tak akan merasakan pahitnya, perihnya. Namun jika kita membacanya dan ikut merasakan perihnya, kita akan ikut berkecipung dalam masalah cerita ini. Mungkin orang lain akan bertanya, apakah mungkin cerita itu nyata? Nyata. Apakah kami tak memiliki sanak famili? Ada. Satu prinsip ibuku, sesulit apapun keadaan kami berusaha berdiri itu adalah jalan utamanya. Dengan kejadian ini, bagiku beras 1 canting itu merupakan secerca harapan, harapan baru. Aku berjanji atas diriku, tak akan pernah kejadian ini terulang lagi. Tak akan pernah sekalipun. Saat anda membacanya bayangkan anda yang berperan dalam cerita ini”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar