“Melangkah,
menjauhi, atau berdiam?”
Kupandangi
buku usang yang ada di atas meja belajar reot yang kududuki, bersampul dengan
kertas kalender bekas yang kuminta pada toko kelontong tempat ayah bekerja.
Buku ini seakan-akan telah menjadi teman, sahabat, bahkan saudaraku. Tiap
lembar perlembar semuanya terisi dengan tulisan-tulisan harapan yang membumbung
tinggi. Untukku seorang anak yang memiliki ayah seorang kuli dan ibu sebagai
pencuci baju keliling, yang gajinya pas-pasan untuk biaya hidup sangatlah
berarti bagiku sebuah buku ini. Di penghujung hari selalu kurutinkan untuk
menulis meskipun tulisan itu terkadang hanya sepenggal cerita yang kualami pada
hari itu.
Hari
ini buku harianku habis, aku merengek pada ayah untuk meminta uang Rp 3.000
untuk membeli buku yang baru. Namun tatapan ayah datar, seakan-akan mengatakan
“teteh, jangan hari ini ya, dompet ayah lagi tipis nih”. Belum sempat ayah
mengatakan hal tersebut.
“Nggak
jadi yah, teteh nulis di kertas-kertas bekas aja yang ayah bawa kemarin untuk
dijual. Nggak papa kan yah, teteh ambil sekitar 10 lembar?”
Ayah
hanya mengangguk tersenyum sambil mengelus kepalaku. Ayah berlalu
meninggalkanku di ruang tamu merangkap jadi dapur. Air mataku menetes menangisi
kehidupan yang pahit ini.
Aku
bergegas mengambil beberapa lembar kertas bekas yang ada di balik pintu.
Seketika itu ibu datang menghampiriku,
“Teh,
maaf ya kita sekarang belum punya uang untuk membeli buku baru untuk teteh,
untuk makan hari ini aja hanya ada Rp 2.000 untuk beli kerupuk sebagai ganti
lauk kita makan malam ini nak” kata ibu.
Dengan
sigap kuraih tangan ibu dan menciumnya dengan bersimbah air mata.
“Ibu,
teteh nggak maksa kok. Lebih baik teteh nggak nulis dulu dari pada kita nggak
makan. Ibu jangan seperti ini, teteh tahu kalau ayah sama ibu selalu mengikuti
kehendak kami, tapi jangan pernah memaksa keadaan bu. Teteh sekarang udah gede,
jadi jangan pernah menutupi semuanya dari teteh.” Jawabku dengan bersimbah
airmata.
Dengan
sigap ibu memelukku, dan mencium keningku dengan wajah yang sendu.
“Nak,
tugasmu hanya belajar dengan sungguh-sungguh dan beribadah dengan
sungguh-sungguh, minta sama Allah agar kita selalu berada dalam lindungan-Nya”
kata ibu seraya mengelus kepalaku yang tertutup dengan hijab yang usang.
Awalnya
aku hanya ingin mengambil sekitar dua atau tiga lembar, namun aku mengambil 3
kali lipat. Malam ini aku ingin menulis lebih banyak, aku ingin menangis lebih
lama, aku ingin bercerita lebih panjang. Kejadian hari ini seakan-akan
mencekikku menyuruhku mengingatnya lebih lama dan lebih berbekas. Memang tak
jarang kami mengalami kekurangan uang untuk makan, namun yang kali ini sangat
berbeda. Atau mungkin karena aku telah beranjak dewasa membuatku lebih sensitif
dengan kejadian-kejadian yang kualami.
Setelah
kejadian itu tak jarang aku melihat ayah berada di rumah. Aku dan adikku
bertemu ayah hanya pada malam hari, itu pun ketika kami akan tidur. Buku
harianku kali ini dibelikan khusus oleh ayah, ayah bilang ini sebagai gantinya
keterlambatan mengganti buku harianku kemarin. Ayah juga membelikan adikku
sebuah boneka panda yang menggigit bambu kesukaannya, apakah ini alasan ayah
untuk menghabiskan waktunya dengan bekerja dan bekerja.
Jarum
jam terus berjalan tanpa mempedulikan begitu beratnya waktu-waktu yang
kujalani. Aku melirik kejam dinding yang polontos, jarum jam tepat berada dipukul
01.30, tengah malam. aku menyusuri dinding rumah yang berwarna putih telah
berubah menjadi warna coklat, mataku tertuju pada tirai pintu yang berwarna
merah, dimana di balik tirai itu ada orang-orang yang selalu menjadi alasanku
terus bermimpi, mimpi yang tinggi untuk membawa mereka kekehidupan yang lebih
layak dan indah. Mataku menatap nanar, tak terasa airmataku jatuh membasahi
pipiku. Aku mengintip di balik tirai merah, kulihat wajah-wajah penuh ketegaran
dalam hal apapun. Airmataku semakin deras, kulihat jemari ayah penuh dengan
plester dan kening ibu yang tertempelkan koyok cabe. Wajah letihnya semakin
tampak, aku menggenggam tangan ayah dan menciumnya hinggaku sesegukkan menangis
membuat ayah dan ibu terbangun.
“Teh,
teteh kenapa nak?” tanya ayah dan ibu
“Sini,
sama ibu” kata ibu seraya memelukku untuk meredakan tangisku
Aku
hanyut dalam tangisku tak terasa pundak ibu basah dengan airmataku. Aku tak
mampu berucap, hanya suara tangis yang keluar dari bibirku.
“Apa
yang terjadi nak? Kenapa teteh menangis? Karena ayah? Ibu?”
Aku
hanya bisa menggeleng.
“Yah,
jangan tanya dulu, menangislah nak, ibu tahu apa yang teteh rasakan”
“Ayah,
ibu andaiku bisa memiliki tongkat ajaib, hanya satu yang aku inginkan aku ingin
menyulap pintu syurga selalu terbuka untuk kalian, syurgalah yang pantas jadi
kado terindah”
Aku
tak mampu berucap hingga sepatah kata pun tak mampu kuucapkan. Pelukan ibu
semakin erat membuatku tertidur di pelukan hangatnya.
Semakin
bertambahnya pekerjaan ayah, tak jarang membuat beliau keluar masuk rumah
sakit. Selama ini ayah hanya menderita tipes, namun sekarang bukan hanya tipes
tetapi asam uratnya yang terus kambuh, rematik, paru-paru basah, dan sekarang
ditambah lagi diabetes. Kesehatan ayah semakin surut dan keuangan kami pun ikut
menyurut. Dengan berbagai penyakit yang ayah idap membuat beliau tak kuat untuk
bertahan. Ayah pergi lebih awal menghadap ilahi, karena kolestrolnya yang
meningkat drastis. Ayah wafat tepat di hari ultahku. Hari ini harusnya ayah
datang dengan membawa kue dan makanan-makanan ringan seperti sate atau bakso.
Namun kali ini kado ultahku dari ayah adalah airmata.
Setelah
kepergian ayah ibu sangat terpukul, hingga membuat hari-harinya kelam. Tak
jarang ibu menangis ketika malam hari. Keluarga kami menjadi suram tanpa ada gelak
tawa lagi di antara kami.
pulang
sekolah aku tak melihat ibu dan adikku berada di rumah. Aku yang sedari tadi
menahan lapar selama di sekolah, bergegas ke dapur dan membuka tudung. Tudung
yang kubuka diam membisu menatapku lirih, seakan merasakan apa yang kurasakan.
“Oh
Tuhan, cobaan ini sangat berat hingga membuat kami menjadi orang yang sangat
tak berdaya. Haruskah aku menitikkan airmata yang pertama kali setelah Engkau
mengambil ayahku? Aku telah berusaha menjadi anak yang kuat, tabah, dan sabar
menghadapi masalah ini. Tapi apakah ibu harus menjadi orang yang tak peduli
sehingga ia melupakan tanggung jawabnya sebagai ibu sekaligus ayah? Tuhan
jangan biarkan ini bertahan lama.” Ucapku lirih dalam hati.
“Assalamualaikum”
terdengar suara ibu di luar.
“Walaikumsalam”
jawabku dan dengan segera menghapus airmata.
Aku
melihat ibu dan adikku membawa 2 bungkus kecap manis, dengan wajah yang sangat
riang. Aku hanya diam membisu melihat ibu dan adikku berlalu.
“Teh,
ayo makan sini nak” panggil ibu yang membuyarkan lamunanku.
Aku
bergegas ke dapur, namun aku tak menemukan lauk maupun nasi di bawah tudung.
“Teh,
hari ini kita makan bubur aja ya? Soalnya tadi beras kita hanya tinggal 1
canting. Jadi ibu buatin bubur biar jadi banyak” kata ibu dengan wajah yang
terpaksa harus tersenyum.
Aku
hanya diam menahan tangis yang hampir pecah. Aku melihat adikku sangat lahap
memakan bubur tanpa rasa yang hanya dicampur dengan kecap manis. Perih hati
ini, aku telah berburuk sangka pada ibuku sendiri.
“Hari
ini di kantong ibu hanya tinggal uang Rp 500 dan beras 1 canting. Minyak tanah
untuk menghidupkan kompor pun tak tersisa, akhirnya ibu masak menggunakan kayu
bakar dan plastik sebagai ganti minyak tanahnya. Korek pun hanya tinggal
beberapa batang, ibu menghidupkan apinya dengan sangat hati-hati. Kejadian itu
tak akan pernah hilang dari ingatanku, tak akan pernah. Jika kita hanya membaca
tanpa membayangkan, itu tak akan membekas dan kita tak akan merasakan pahitnya,
perihnya. Namun jika kita membacanya dan ikut merasakan perihnya, kita akan ikut
berkecipung dalam masalah cerita ini. Mungkin orang lain akan bertanya, apakah
mungkin cerita itu nyata? Nyata. Apakah kami tak memiliki sanak famili? Ada.
Satu prinsip ibuku, sesulit apapun keadaan kami berusaha berdiri itu adalah
jalan utamanya. Dengan kejadian ini, bagiku beras 1 canting itu merupakan
secerca harapan, harapan baru. Aku berjanji atas diriku, tak akan pernah
kejadian ini terulang lagi. Tak akan pernah sekalipun. Saat anda membacanya
bayangkan anda yang berperan dalam cerita ini”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar