Sabtu, 30 September 2017

Bulan Keramat

September adalah bulan keramat. Bulan dimana aku selalu mendapatkan ucapan selamat dan todongan makan-makan yang salah alamat. Ini semua gara-gara nama yang disematkan oleh orangtuaku kala aku baru saja dilahirkan dengan selamat. Ya, ternyata selamat tidak hanya menemani Neil Amstrong saat ke bulan. Namun mengiringi perjalananku juga, dari nirwana ke dunia fana. Sungguh aku belum sempat berterimakasih kepada selamat. Tapi tak apalah, pasti selamat akan memakluminya.
Sebenarnya aku lahir pada bulan Januari, namun berhubung saat itu ibuku tengah menyukai lagu milik Vina Panduwinata, maka beliau menamaiku dengan judul lagunya. Kabarnya ayahku protes tapi tidak bisa berkutik padahal beliau ingin menamaiku dengan nama Junijuli.
Tidak seperti September sebelumnya, September kali ini aku terbebas dari segala tingkah aneh teman-teman SMAku yang selalu pura-pura tidak tahu bila aku tidak dilahirkan di bulan September. Aku bisa sedikit bernafas lega karena tidak akan ada yang melempariku dengan telur, terigu bahkan minyak kelapa. Kadang aku berprasangka, mungkin teman-temanku tahu bila aku sedang ikut kursus membuat kue. Mereka berpikir, semakin akrab aku dengan bahan-bahan itu, maka semakin cepat berhasil lah aku menaklukan kutukan bolu kukus yang bikin pusing serius.
Pagi ini aku berdiri di lorong dalam bus kota, di antara kursi kursi yang semuanya telah terisi. Aku membelalakkan mataku tak percaya, di sana, di spion berukuran besar itu terpantul sebuah wajah menawan ala Kate Moss, sang model kawakan. Aku memegangi hidungku, menyentuh bibirku, menyelipkan helaian rambut yang mengganggu pipi ke telingaku, lalu mengagumi leher jenjang yang… ah ternyata itu bukan aku. Pantulan wajahku tertutup oleh wajah gadis di depanku. Gerhana wajah total sedang berlangsung di bus kota yang penuh sesak ini.
Jam di tangan supir angkot kampus yang bertatto itu telah menunjukkan angka 6 lebih 50 menit. Aku terbelalak. Bukan karena aku sadar akan terlambat, namun karena tattonya bermotif batik parang rusak. Rupanya, pak supir mencintai produk Indonesia. Aku pun memuja dan memujinya, hasilnya ia melesat bagai Nino Farina. Dengan senang hati, aku pun menjura. Aku terselamatkan, masuk aula tepat ketika jarum jam panjang berada di angka dua belas.
“September Ceria.”
Semua teman satu jurusanku mengulangi perkataan senior yang terlihat gagah menyandang toa.
“Ini bukan yel-yel, saya sedang memanggil nama salah satu teman kalian, paham?” Sang senior muntab.
Aku tertawa, dalam hati saja, takut komplikasi karena mulutku kini susah diajak koordinasi akibat melihat pemandangan indah di depan sana.
Dia bagaikan kembaran Nuno, bukan Nuno dan Yovie atau Yovi dan Nuno, tapi Nuno Bettencourt. Mendadak perutku yang belum diisi nasi ini dipenuhi dengan nada-nada yang membentuk lagu More Than Words. Ingin rasanya bernyanyi sambil menggoyang-goyangkan korek api. Tapi semuanya musnah seketika karena ternyata Nuno yang ini galaknya luar biasa.
“September!”
Aku terlonjak.
“Kamu telat, jalan jongkok bolak balik.”
Mulutku ingin protes. Namun tatapan galak kak Nuno membuatku patah semangat.
Dalam sekejap, duniaku runtuh, tulang bergemeretak, encok menyerang dan ketombe berjingkrakan dengan riang. Panas… Panas… Panas… Armand Maulana pun ikut meradang.
“September! Skot jump.”
“September! Lari keliling lapangan.”
“September! Ambil air.”
“September! Siram bunga.”
“September! Jadi patung.”
“September! Nyanyi mars KB.”
“September! Lempar batu.”
“September! Sembunyi tangan.”
Hari ini, aku remuk redam. Susunan tulangku berantakan. Semoga saja tulang rusukku tidak, kalau iya, bagaimana nasib kisah percintaanku. Tak mungkin aku meminta Mas Anang jadi tumbal sambil menyanyikan lagu “Jodohku”.
September tahun ini ternyata lebih kelam dari tahun sebelumnya, seharusnya aku ganti nama saja menjadi September Merana.
“September, kamu dipanggil kak April.”
Aku terperanjat mendengar suara menggelegar bak gemuruh ombak di pantai selatan.
Dalam hatiku bertanya-tanya. Kak April? Mei, Juni, Juli?
Dari kejauhan aku melihat kak Nuno, rambutnya berkibar kibar bagai bendera setengah tiang. Segalak apapun dia, tidak membuatku berhenti mengaguminya. Ia begitu memesona sampai aku tak menyadari kalau sekarang sudah ada di hadapannya.
“September!”
Aku terperangah.
“Kamu melamun?”
Aku menggeleng sambil menundukkan kepala, bagaikan aksi mengheningkan cipta.
Dengar seluruh angkasa raya memuji…
“Pantas saja salah, sering melamun rupanya. Lihat ini.” Kak Nuno menyodorkan buku tanda tangan para senior.
Aku melihat tanda-tangan dan nama yang tertera di sana. Tidak ada yang salah.
Lalu dia menunjuk huruf-huruf yang membentuk kata Nuno di bawah tanda-tangannya yang serumit benang kusut.
“Siapa Nuno?” Dia membelalak, namun tidak menghilangkan semua pesonanya.
“Kan… Ka …”
“Kamu juara lomba mengarang tujuh belasan ya?”
Aku menggeleng. “Juara lomba makan kerupuk kak.”
Mendengar jawabanku, kak Nuno balik kanan namun tak pakai bubar jalan. Tak berapa lama, dia balik kanan lagi sambil istirahat di tempat.
“Dengar baik-baik ya, namaku April bukan Nuno.”
Mendadak aku tersadar. Ya ampun, aku malu sekali, mengapa aku semena-mena menulis nama itu. Tak fokus gara-gara rambut.
“Karena kamu melakukan kesalahan, kamu mendapatkan hukuman. Sebenarnya aku bosan menghukum kamu. Tapi bukankah kebenaran harus selalu ditegakkan?” Kak Nuno eh Kak April berkata dengan heroiknya, gayanya sudah seperti Bill Pullman ketika berpidato sesaat sebelum menyerang pesawat Alien yang bercokol di atas area fifty one.
“Lari keliling lapangan sambil dadah dadah, dua putaran.”
Aku terpana, siang terik begini? Ya Tuhan, andai saja Engkau memberiku kekuatan seperti Godam Gundala, pasti kusambut dengan hati gembira.
Selanjutnya aku bagaikan atlet pembawa obor PON, berlari di antara tatapan banyak mata. Di tengah perjalanan, mataku mulai berkunang-kunang, kepalaku bagai dipukul-pukul oleh palunya kangmas Thor, tulang belulangku bagai duri bandeng presto Semarang dan ototku mengendur bagai tali kolor kadaluarsa. Tiba-tiba, duniaku gelap seketika.
Aku tersadar ketika hidungku membaui aroma tajam. Rupanya tadi aku pingsan. Awalnya aku akan membuka mataku, namun aku urungkan dengan segera. Aku pikir, mengapa aku harus cepat-cepat bangun bila ada di sini membuatku dapat beristirahat sejenak melepaskan penat.
Dalam pura pura pingsanku, telingaku menangkap adu mulut yang sangat sengit. Aku memicingkan mataku, Kak April tengah bersitegang dengan wakilnya, kak Sigit.
Hidungku kembali mencium aroma tajam itu, aku bergeming.
Lalu ada tepukan halus di pipiku.
“September, tolong aku, sadarlah.” Kak April berbisik, suaranya diturunkan setengah nada bak kebiasaan GNR dan Nirvana.
Aku bertahan.
“Maafkan aku. Bukan maksudku untuk membuatmu menjadi seperti ini. Aku hanya ingin selalu melihatmu. Semakin sering aku menghukummu, semakin sering pula aku bisa berlama-lama menatapmu.” Kak April kembali berbisik, suaranya kini terdengar merdu bak Gary Cherone yang mendendangkan Love of my Life dengan mendayu.
“Mungkin Nikka Costa benar, inilah yang dinamakan First Love, cinta pada pandangan pertama.”
Mendengar apa yang kak April ucapkan, rasanya aku ingin segera membuka mata lalu melemparkan kamus John M. Echols. Namun, untuk apa membuka mata, jam pulang masih lama. Lagipula semua ini mungkin hanya taktiknya belaka, agar aku bangun lalu meluruskan artinya. Hmm, siapa yang lebih kriminal sekarang? Tapi bagaimanapun aku merasa senang, karena rasa sukaku tidak bertepuk sebelah tangan.


27 November 2017

Minggu, 17 September 2017

Haram Membaca Tanpa Membayangkan


“Melangkah, menjauhi, atau berdiam?”
Kupandangi buku usang yang ada di atas meja belajar reot yang kududuki, bersampul dengan kertas kalender bekas yang kuminta pada toko kelontong tempat ayah bekerja. Buku ini seakan-akan telah menjadi teman, sahabat, bahkan saudaraku. Tiap lembar perlembar semuanya terisi dengan tulisan-tulisan harapan yang membumbung tinggi. Untukku seorang anak yang memiliki ayah seorang kuli dan ibu sebagai pencuci baju keliling, yang gajinya pas-pasan untuk biaya hidup sangatlah berarti bagiku sebuah buku ini. Di penghujung hari selalu kurutinkan untuk menulis meskipun tulisan itu terkadang hanya sepenggal cerita yang kualami pada hari itu.
Hari ini buku harianku habis, aku merengek pada ayah untuk meminta uang Rp 3.000 untuk membeli buku yang baru. Namun tatapan ayah datar, seakan-akan mengatakan “teteh, jangan hari ini ya, dompet ayah lagi tipis nih”. Belum sempat ayah mengatakan hal tersebut.
“Nggak jadi yah, teteh nulis di kertas-kertas bekas aja yang ayah bawa kemarin untuk dijual. Nggak papa kan yah, teteh ambil sekitar 10 lembar?”
Ayah hanya mengangguk tersenyum sambil mengelus kepalaku. Ayah berlalu meninggalkanku di ruang tamu merangkap jadi dapur. Air mataku menetes menangisi kehidupan yang pahit ini.
Aku bergegas mengambil beberapa lembar kertas bekas yang ada di balik pintu. Seketika itu ibu datang menghampiriku,
“Teh, maaf ya kita sekarang belum punya uang untuk membeli buku baru untuk teteh, untuk makan hari ini aja hanya ada Rp 2.000 untuk beli kerupuk sebagai ganti lauk kita makan malam ini nak” kata ibu.
Dengan sigap kuraih tangan ibu dan menciumnya dengan bersimbah air mata.
“Ibu, teteh nggak maksa kok. Lebih baik teteh nggak nulis dulu dari pada kita nggak makan. Ibu jangan seperti ini, teteh tahu kalau ayah sama ibu selalu mengikuti kehendak kami, tapi jangan pernah memaksa keadaan bu. Teteh sekarang udah gede, jadi jangan pernah menutupi semuanya dari teteh.” Jawabku dengan bersimbah airmata.
Dengan sigap ibu memelukku, dan mencium keningku dengan wajah yang sendu.
“Nak, tugasmu hanya belajar dengan sungguh-sungguh dan beribadah dengan sungguh-sungguh, minta sama Allah agar kita selalu berada dalam lindungan-Nya” kata ibu seraya mengelus kepalaku yang tertutup dengan hijab yang usang.
Awalnya aku hanya ingin mengambil sekitar dua atau tiga lembar, namun aku mengambil 3 kali lipat. Malam ini aku ingin menulis lebih banyak, aku ingin menangis lebih lama, aku ingin bercerita lebih panjang. Kejadian hari ini seakan-akan mencekikku menyuruhku mengingatnya lebih lama dan lebih berbekas. Memang tak jarang kami mengalami kekurangan uang untuk makan, namun yang kali ini sangat berbeda. Atau mungkin karena aku telah beranjak dewasa membuatku lebih sensitif dengan kejadian-kejadian yang kualami.
Setelah kejadian itu tak jarang aku melihat ayah berada di rumah. Aku dan adikku bertemu ayah hanya pada malam hari, itu pun ketika kami akan tidur. Buku harianku kali ini dibelikan khusus oleh ayah, ayah bilang ini sebagai gantinya keterlambatan mengganti buku harianku kemarin. Ayah juga membelikan adikku sebuah boneka panda yang menggigit bambu kesukaannya, apakah ini alasan ayah untuk menghabiskan waktunya dengan bekerja dan bekerja.
Jarum jam terus berjalan tanpa mempedulikan begitu beratnya waktu-waktu yang kujalani. Aku melirik kejam dinding yang polontos, jarum jam tepat berada dipukul 01.30, tengah malam. aku menyusuri dinding rumah yang berwarna putih telah berubah menjadi warna coklat, mataku tertuju pada tirai pintu yang berwarna merah, dimana di balik tirai itu ada orang-orang yang selalu menjadi alasanku terus bermimpi, mimpi yang tinggi untuk membawa mereka kekehidupan yang lebih layak dan indah. Mataku menatap nanar, tak terasa airmataku jatuh membasahi pipiku. Aku mengintip di balik tirai merah, kulihat wajah-wajah penuh ketegaran dalam hal apapun. Airmataku semakin deras, kulihat jemari ayah penuh dengan plester dan kening ibu yang tertempelkan koyok cabe. Wajah letihnya semakin tampak, aku menggenggam tangan ayah dan menciumnya hinggaku sesegukkan menangis membuat ayah dan ibu terbangun.
“Teh, teteh kenapa nak?” tanya ayah dan ibu
“Sini, sama ibu” kata ibu seraya memelukku untuk meredakan tangisku
Aku hanyut dalam tangisku tak terasa pundak ibu basah dengan airmataku. Aku tak mampu berucap, hanya suara tangis yang keluar dari bibirku.
“Apa yang terjadi nak? Kenapa teteh menangis? Karena ayah? Ibu?”
Aku hanya bisa menggeleng.
“Yah, jangan tanya dulu, menangislah nak, ibu tahu apa yang teteh rasakan”
“Ayah, ibu andaiku bisa memiliki tongkat ajaib, hanya satu yang aku inginkan aku ingin menyulap pintu syurga selalu terbuka untuk kalian, syurgalah yang pantas jadi kado terindah”
Aku tak mampu berucap hingga sepatah kata pun tak mampu kuucapkan. Pelukan ibu semakin erat membuatku tertidur di pelukan hangatnya.
Semakin bertambahnya pekerjaan ayah, tak jarang membuat beliau keluar masuk rumah sakit. Selama ini ayah hanya menderita tipes, namun sekarang bukan hanya tipes tetapi asam uratnya yang terus kambuh, rematik, paru-paru basah, dan sekarang ditambah lagi diabetes. Kesehatan ayah semakin surut dan keuangan kami pun ikut menyurut. Dengan berbagai penyakit yang ayah idap membuat beliau tak kuat untuk bertahan. Ayah pergi lebih awal menghadap ilahi, karena kolestrolnya yang meningkat drastis. Ayah wafat tepat di hari ultahku. Hari ini harusnya ayah datang dengan membawa kue dan makanan-makanan ringan seperti sate atau bakso. Namun kali ini kado ultahku dari ayah adalah airmata.
Setelah kepergian ayah ibu sangat terpukul, hingga membuat hari-harinya kelam. Tak jarang ibu menangis ketika malam hari. Keluarga kami menjadi suram tanpa ada gelak tawa lagi di antara kami.
pulang sekolah aku tak melihat ibu dan adikku berada di rumah. Aku yang sedari tadi menahan lapar selama di sekolah, bergegas ke dapur dan membuka tudung. Tudung yang kubuka diam membisu menatapku lirih, seakan merasakan apa yang kurasakan.
“Oh Tuhan, cobaan ini sangat berat hingga membuat kami menjadi orang yang sangat tak berdaya. Haruskah aku menitikkan airmata yang pertama kali setelah Engkau mengambil ayahku? Aku telah berusaha menjadi anak yang kuat, tabah, dan sabar menghadapi masalah ini. Tapi apakah ibu harus menjadi orang yang tak peduli sehingga ia melupakan tanggung jawabnya sebagai ibu sekaligus ayah? Tuhan jangan biarkan ini bertahan lama.” Ucapku lirih dalam hati.
“Assalamualaikum” terdengar suara ibu di luar.
“Walaikumsalam” jawabku dan dengan segera menghapus airmata.
Aku melihat ibu dan adikku membawa 2 bungkus kecap manis, dengan wajah yang sangat riang. Aku hanya diam membisu melihat ibu dan adikku berlalu.
“Teh, ayo makan sini nak” panggil ibu yang membuyarkan lamunanku.
Aku bergegas ke dapur, namun aku tak menemukan lauk maupun nasi di bawah tudung.
“Teh, hari ini kita makan bubur aja ya? Soalnya tadi beras kita hanya tinggal 1 canting. Jadi ibu buatin bubur biar jadi banyak” kata ibu dengan wajah yang terpaksa harus tersenyum.
Aku hanya diam menahan tangis yang hampir pecah. Aku melihat adikku sangat lahap memakan bubur tanpa rasa yang hanya dicampur dengan kecap manis. Perih hati ini, aku telah berburuk sangka pada ibuku sendiri.
“Hari ini di kantong ibu hanya tinggal uang Rp 500 dan beras 1 canting. Minyak tanah untuk menghidupkan kompor pun tak tersisa, akhirnya ibu masak menggunakan kayu bakar dan plastik sebagai ganti minyak tanahnya. Korek pun hanya tinggal beberapa batang, ibu menghidupkan apinya dengan sangat hati-hati. Kejadian itu tak akan pernah hilang dari ingatanku, tak akan pernah. Jika kita hanya membaca tanpa membayangkan, itu tak akan membekas dan kita tak akan merasakan pahitnya, perihnya. Namun jika kita membacanya dan ikut merasakan perihnya, kita akan ikut berkecipung dalam masalah cerita ini. Mungkin orang lain akan bertanya, apakah mungkin cerita itu nyata? Nyata. Apakah kami tak memiliki sanak famili? Ada. Satu prinsip ibuku, sesulit apapun keadaan kami berusaha berdiri itu adalah jalan utamanya. Dengan kejadian ini, bagiku beras 1 canting itu merupakan secerca harapan, harapan baru. Aku berjanji atas diriku, tak akan pernah kejadian ini terulang lagi. Tak akan pernah sekalipun. Saat anda membacanya bayangkan anda yang berperan dalam cerita ini”

Minggu, 10 September 2017

Nasionalisme Jiwa

Rafi berjalan memasuki wilayah gedung sekolahnya dengan langkah penuh percaya diri. Setelan seragam pramuka dipadukan dengan jaket jeans menjadi gayanya hari ini. Ketika melewati lobby, ia menyapa teman-temannya dengan ramah dan dengan gaya baratnya. “Hai guys!”
Sementara di sisi lain, Rois sedang menatap bendera merah-putih yang terletak di samping hutan sekolah dengan sejuta pikiran di kepalanya. Tak lama setelah itu, Rafi berjalan melewati hutan sekolah sambil mengutak-atik ponselnya dan sesekali ia menempelkan ponselnya itu ke telinganya untuk mendengar sebuah suara yang keluar dari ponselnya itu.
Rafi yang melihat Rois berdiri sendirian di depan bendera merah-putih segera menghampirinya. “Ngapain, bro?” tanya Rafi dengan heran.
“Aku sedang menatap bendera merah-putih kita.” jawab Rois santai.
Rafi yang masih sibuk dengan ponselnya berkata “Wah, kemarin Greenleaf abis ngerilis album rocknya nih!”
“coba dengerin!” lanjut Rafi sambil mendekatkan ponselnya itu ke telinga Rois. Rafi pun memutar lagu rock yang dimaksudnya tadi.
“Lagu apa ini?” Rois yang tidak tahu-menahu tentang lagu itu bertanya pada Rafi. Rafi pun mematikan putaran lagu itu dan menjauhkan ponselnya dari telinga Rois.
“Ini lagu band terkenal, dari California.” jelas Rafi.
Rois yang mendengar itu merasa heran dengan Rafi yang begitu menyukai hal-hal yang berbau luar negeri. “Apa yang kamu bisa banggakan dengan band-band luar negeri?” tanya Rois setengah kesal pada Rafi.
“Lagunya keren, bro!” jawab Rafi bangga.
“Banyak band-band di Indonesia. Band indi, band nasional, mereka semua sudah tembus internasional. Bukankah band-band itu juga mempunyai potensi untuk go internasional?” jelas Rois tak kalah bangga dengan Rafi.
“Seharusnya kamu bangga dengan lagu-lagu nasional.” lanjut Rois.
“Ah lagu nasional cuma bisa nyontek doang.” elak Rafi.
Lia dan Vio tiba-tiba datang menghampiri Rafi dan Rois dari arah koridor kelas 11 dan menghentikan pembicaraan mereka.
“Hey, Rois! Ngapain di sini?” tanya Lia pada Rois.
“Ini aku lagi berbincang-bincang dengan Rafi.” jawab Rois.
“Mending sekarang kita kerja kelompok aja.” usul Vio.
“Kerja kelompok apa?” tanya Rois.
“Sejarah peminatan, kan tugas kita belom selesai.” jelas Vio.
“Ohhh..” jawab Rois seadanya.
“Raf, kamu bisa ikut kelompok kami?” tanya Rois pada Rafi yang sedari tadi diam sejak kedatangan Lia dan Vio.
“Kerja kelompok? Ah lebih baik gue nonton konser.” jawab Rafi angkuh lalu meninggalkan Rois, Lia, dan Vio. Mereka bertiga yang melihat tingkah Rafi hanya bisa menggelengkan kepala.
Setelah meninggalkan Rois, Lia, dan Vio, Rafi berjalan melewati koridor kelas 11 IPS yang tampak sepi. Saat melewati salah satu kelas IPS, ia mendengar lagu nasional yang diputar cukup keras dari dalam kelas tersebut. Rafi yang merasa penasaran pun memasuki kelas tersebut, dan mendapati Fayaz yang duduk sendiri di kelas sambil mendengarkan lagu yang didengar Rafi dari luar kelas tadi.
“Hai, guys!'” sapa Rafi dengan gaya khasnya.
“Ini lagu apa kok keren sekali?” tanya Rafi penasaran dengan lagu apa yang sedang diputar oleh Fayaz.
Fayaz yang menyadari kehadiran Rafi pun menjawab sapaan Rafi.
“Lagu nasionalisme.” jawab Fayaz sambil menghadap ke Rafi.
“Judulnya apa?” tanya Rafi lagi.
“Garuda di Dadaku, dari band Netral.” “Coba kamu download, terus dengerin lagunya dari awal. Keren deh.” lanjut Fayaz.
“Ohhh..” jawab Rafi lalu segera mengeluarkan ponselnya dari saku celana seragamnya. Rafi pun mendownload lagu yang dimaksud Fayaz tadi.
“Ok. Thanks ya, bro!” jawab Rafi lalu pergi meninggalkan kelas tersebut.
Rois, Lia, dan Vio sedang berdiskusi sambil duduk-duduk di koridor kelas.
“Rek, gimana ini? Tugas Sejarah Peminatan kita tentang bab Kebudayaan Indonesia yang belum dikerjakan.” ujar Rois pada Vio dan Lia.
“Iya nih, gimana ya ngerjainnya?” tanya Lia.
“Kita ambil tema kebudayaan Indonesia yang di Jawa aja. Itu apa saja contohnya?” tanya Rois.
“Tari, upacara adat, apalagi ya?” Lia tampak sangat antusias.
“Kalo tari kan ada tari Remo. Upacara adat ada upacara Panggih Manten.” kata Vio.
“Tari Pendet juga tuh.” kata Lia.
“Tari Pendet itu dari Bali!” protes Vio dan Rois serentak. Lia yang mengetahui kelalaiannya hanya menyengir.
“Gimana kalo kita bagi tugas aja. Kalian berdua yang cari artikel, aku yang cari foto-fotonya.” ucap Rois pada Lia dan Vio.
“Ya udah gitu aja deh, biar cepat selesai.” kata Vio.
Di koridor kelas bagian ujung, Rafi sedang duduk sendirian sambil mengutak-atik ponselnya.
“Hai, Bro!” Arya teman Rafi yang sama-sama menyukai hal-hal berbau luar negeri menghampiri Rafi.
“Hei!” jawab Rafi.
Arya pun duduk di samping Rafi. “Gimana soal liburan ke California? Jadi kan?” tanya Arya sambil memegang pundak Rafi.
“Ya jadi lah, bro!”
“Ok. Gue bilang ke mama gue buat transfer uangnya sekarang.” ujar Arya lalu melepaskan tangannya dari pundak Rafi.
“Ok. Kalo gitu ayo sekarang kita pulang!” Rafi dan Arya pun bangkir dari duduknya lalu berjalan keluar dari koridor.
“Jadi, deadline tugasnya kapan nih?” tanya Lia pada Vio dan Rois.
“Nanti malam, kirim lewat email aku aja.” jawab Rois memtuskan.
Saat itu juga, Rafi dan Arya berjalan melewati mereka.
“Kalian mau ke mana?” pertanyaan dari Vio menghentikan langkah Arya dan Rafi.
“Ini sama Arya, mau nyiapin perlengkapan liburan ke California buat weekend besok.” jelas Rafi.
Lia yang merasa bingung dengan Rafi dan Arya yang tiba-tiba mempuyai rencana liburan ke luar negeri minggu ini pun bertanya pada Rafi. “Ngapain liburan ke luar negeri?”
“Ya nonton konser rock, bro.” jawab Rafi dengan sombongnya.
“Emang apa yang bisa kamu banggakan dengan budaya luar negeri?” Rois buka suara.
“Kalo soal liburan, di Indonesia banyak tempat-tempat yang keren. Seperti contohnya, ada pulau Raja Ampat yang lagi naik daun sekarang ini, ada pulau Bali yang sudah mendunia, dan juga pulau Lombok yang terkenal dengan viewnya yang terkenal.” lanjut Rois menjelaskan betapa banyaknya tempat wisata di Indonesia yang kebih keren dibandingkan dengan tempat wisata di luar negri.
“Pulau Komodo juga keren tuh. Bisa ketemu Komodo secara langsung di habitatnya.” celetuk Lia.
Rafi yang mendengar penjelasan dari Rois dan Lia pun segera mengambil ponselnya yang ada di saku celana, lalu ia mulai mencari informasi nama-nama pulau yang tadi disebutkan oleh Lia dan Rois.
“Wah.. Ternyata di negara kita banyak ya tempat wisata yang keren jika dibandingin dengan tempat wisata di Luar negeri. Ke mana aja gue selama ini?” ujar Rafi takjub setelah melihat hasil foto-foto dari ponselnya mengenai pulau-pulau tadi.
“Ya udah, Arya, kita ubah tempat liburannya aja.” lanjut Rafi bicara kepada Arya.
Keesokan harinya.
Rafi dan Arya berjalan di hutan sekolah menghampiri Rois, Lia, dan Vio yang sedang berbincang-bincang di gazebo.
“Heh rek, ayo melok aku!” ujar Rafi dengan semangat. Sementara Lia dan Rois merasa heran dengan gaya bicara Rafi yang sudah berubah total.
“Ke mana?” tanya Vio penasaran. Tanpa pikir panjang, Rois, Lia, dan Vio memutuskan untuk mengikuti Rafi dan Arya yang sudah berjalan lebih dulu.
Ternyata, tujuannya adalah letak bendera merah-putih yang berada di samping hutan sekolah. Mereka pun bebaris 1 shaf di depan bendera merah-putih. Rois, Lia, dan Vio bingung apa yang dimaksud oleh Rafi dan Arya.
“Seluruhnya, hormat.. Gerak!” ujar Rafi lantang lalu ia pun hormat pada bendera merah-putih. Arya, Rois, Lia, dan Vio pun mengikut Rafi. Mereka hormat dengan khidmat pada bendera pusaka kita, bendera merah-putih. Rois. Lia, dan Vio menyadari apa maksud Rafi mengajaknya menghadap bendera merah-putih.
Rafi dan Arya sekarang telah mencintai kembali negaranya, negara Indonesia, mereka berdua tidak lagi menggunakan gaya bahasa barat dalam kehidupan sehari-hari sejak mereka sadar bagaimana negara Indonesia yang jauh lebih seperti surga jika dibandingkan dengan negara lain.

Jumat, 01 September 2017

Bayangan Bercahaya

Apa yang kau bayangkan ketika mendengar kalimat “Biola Tak Bertuan”, ya mungkin kau akan berfikir Biola yang tidak dirawat dan dibiarkan begitu saja. Ya benar itulah aku, Aku hidup di dunia ini tanpa seorang Ayah dan juga Ibu. Ibuku telah meninggal dunia ketika aku lahir, mungkin bisa dikatakan pertukaran hidup, Aku lahir ke dunia ini sedangkan Ibuku pergi meninggalkan dunia, Ayahku entah ke mana pergi begitu saja tidak bertanggung jawab hingga meninggalkan aku bersama sang nenek.
Kenalkan nama saya Lilis aku tinggal di sekitar Desa Padalarang! Sejak kecil Aku dirawat dan diberi kasih sayang oleh nenek dari Ibuku. Namun kini semuanya telah benar-benar berlalu ketika aku duduk di bangku II SD, nenek pergi meninggalkan dunia ini karena tertabrak oleh motor saat hendak pergi ke pasar.
Setiap malam ku selalu menangis merindukan keluarga-keluargaku yang perlahan-lahan pergi meninggalkan seorang diri dan sekarang aku hidup sebatangkara yang tak dipedulikan oleh pemerintah. Untungnya aku punya Bu Surti tetanggaku yang berbaik hati untuk memberi makan setiap harinya. Bu Surti sampai saat ini belum juga dikaruniai buah hati padahal sudah 10 tahun menikah bersama suaminya. Karena alasan itulah yang membuatnya dia ingin untuk menjadikan aku sebagai anak angkatnya.
Sekarang aku sudah duduk di kelas VI di salah satu SD di kecamatan Padalarang, kebetulan hari ini adalah hari Minggu jadi aku bisa bantu-bantu bu Surti untuk melakukan pekerjaan rumahnya.
“Lilis… Lilis…” panggil bu Surti dengan lembut
“Iya ibu ada apa?” jawab aku sambil menuju dapur
“Lilis! Ibu boleh minta tolong” pinta ibu
“Iya bu, tolong apa” jawab aku lagi
“Tolong belikan ibu telur, ibu mau buat nasi goreng untuk sarapan pagi ini! Bisa kan Lis?”
“Oh iya bu bisa! Ya udah, Lilis pamit ke warung ya”
“Iya sayang hati-hati ya” ucap bu Surti

Sesampai di warung…
“Bu, beli telur 1” kata aku
“Eh Lilis? ngapain kamu ke sini! Iih hush hush pergi, kamu itu anak haram ya Lis, jadi kamu gak boleh ngingjek kaki di warung ini! paham???!” Kata bu Atika yang punya warung
Aku mulai menangis “Bu Atika, aku bukan anak haram bu! Aku punya ayah dan juga Ibu, kenapa ibu jahat berkata seperti itu”
“Lilis? Asal kamu tahu kamu itu hasil dari perzinahan orangtuamu, Ibumu sudah mengandung kamu sebelum nikah” tegas Bu Atika yang membuatku sakit hati
Satpam kampung tiba-tiba menghampiri kami
“Eleuh-eleuh aya naon iyeu!” tanya mang Ujang satpam dikampung ini
“Bu, saya bukan anak haram bu! Tak ada di dunia ini anak haram” ucap aku sambil nangis
“Ah tetep aja, sekali haram ya haram”
Mendengar ucapan Bu Atika aku shock dan pingsan di tempat hingga dibawa ke rumah kembali, Mang Ujang telah bercerita semuanya kepada Bu Surti.
“Sayang kamu udah sadar” tanya bu Surti
“Tidakk, aku bukan anak haram” aku menjerit
“Lilis Lilis? Kamu kenapa” tanya ibu “Ibu aku bukan anak haram ibu” aku menangis
“Iya Lis! DI dunia ini tidak ada satupun yang terlahir haram, tidak ada kata anak haram, anak itu terlahir dengan suci! Yang haram adalah kedua orangtuamu telah melakukan zina! tapi sekarang kamu doakan saja Ibumu semoga dia tenang di Surganya ya Lilis sayang”
Tiba-tiba aku melihat seperti cahaya di langit-langit kamarku
“Ibu apakah itu ibu?” tanya ibu
“Ibuuuuu, ibu yang tenang ya di surga! Semoga Allah mengampuni dosa-dosa masa lalumu”
Cahaya itu menghampiriku
“Iya Lilis, kamu jika merindukan Ibu! Ibu akan senantiasa berada di sini, di hatimu!”
Aku tersenyum