September
adalah bulan keramat. Bulan dimana aku selalu mendapatkan ucapan selamat dan
todongan makan-makan yang salah alamat. Ini semua gara-gara nama yang
disematkan oleh orangtuaku kala aku baru saja dilahirkan dengan selamat. Ya, ternyata
selamat tidak hanya menemani Neil Amstrong saat ke bulan. Namun mengiringi
perjalananku juga, dari nirwana ke dunia fana. Sungguh aku belum sempat
berterimakasih kepada selamat. Tapi tak apalah, pasti selamat akan
memakluminya.
Sebenarnya
aku lahir pada bulan Januari, namun berhubung saat itu ibuku tengah menyukai
lagu milik Vina Panduwinata, maka beliau menamaiku dengan judul lagunya.
Kabarnya ayahku protes tapi tidak bisa berkutik padahal beliau ingin menamaiku
dengan nama Junijuli.
Tidak
seperti September sebelumnya, September kali ini aku terbebas dari segala
tingkah aneh teman-teman SMAku yang selalu pura-pura tidak tahu bila aku tidak
dilahirkan di bulan September. Aku bisa sedikit bernafas lega karena tidak akan
ada yang melempariku dengan telur, terigu bahkan minyak kelapa. Kadang aku
berprasangka, mungkin teman-temanku tahu bila aku sedang ikut kursus membuat
kue. Mereka berpikir, semakin akrab aku dengan bahan-bahan itu, maka semakin
cepat berhasil lah aku menaklukan kutukan bolu kukus yang bikin pusing serius.
Pagi
ini aku berdiri di lorong dalam bus kota, di antara kursi kursi yang semuanya
telah terisi. Aku membelalakkan mataku tak percaya, di sana, di spion berukuran
besar itu terpantul sebuah wajah menawan ala Kate Moss, sang model kawakan. Aku
memegangi hidungku, menyentuh bibirku, menyelipkan helaian rambut yang
mengganggu pipi ke telingaku, lalu mengagumi leher jenjang yang… ah ternyata
itu bukan aku. Pantulan wajahku tertutup oleh wajah gadis di depanku. Gerhana
wajah total sedang berlangsung di bus kota yang penuh sesak ini.
Jam
di tangan supir angkot kampus yang bertatto itu telah menunjukkan angka 6 lebih
50 menit. Aku terbelalak. Bukan karena aku sadar akan terlambat, namun karena
tattonya bermotif batik parang rusak. Rupanya, pak supir mencintai produk
Indonesia. Aku pun memuja dan memujinya, hasilnya ia melesat bagai Nino Farina.
Dengan senang hati, aku pun menjura. Aku terselamatkan, masuk aula tepat ketika
jarum jam panjang berada di angka dua belas.
“September
Ceria.”
Semua
teman satu jurusanku mengulangi perkataan senior yang terlihat gagah menyandang
toa.
“Ini
bukan yel-yel, saya sedang memanggil nama salah satu teman kalian, paham?” Sang
senior muntab.
Aku
tertawa, dalam hati saja, takut komplikasi karena mulutku kini susah diajak
koordinasi akibat melihat pemandangan indah di depan sana.
Dia
bagaikan kembaran Nuno, bukan Nuno dan Yovie atau Yovi dan Nuno, tapi Nuno
Bettencourt. Mendadak perutku yang belum diisi nasi ini dipenuhi dengan
nada-nada yang membentuk lagu More Than Words. Ingin rasanya bernyanyi sambil
menggoyang-goyangkan korek api. Tapi semuanya musnah seketika karena ternyata
Nuno yang ini galaknya luar biasa.
“September!”
Aku
terlonjak.
“Kamu
telat, jalan jongkok bolak balik.”
Mulutku
ingin protes. Namun tatapan galak kak Nuno membuatku patah semangat.
Dalam
sekejap, duniaku runtuh, tulang bergemeretak, encok menyerang dan ketombe
berjingkrakan dengan riang. Panas… Panas… Panas… Armand Maulana pun ikut
meradang.
“September!
Skot jump.”
“September!
Lari keliling lapangan.”
“September!
Ambil air.”
“September!
Siram bunga.”
“September!
Jadi patung.”
“September!
Nyanyi mars KB.”
“September!
Lempar batu.”
“September!
Sembunyi tangan.”
Hari
ini, aku remuk redam. Susunan tulangku berantakan. Semoga saja tulang rusukku
tidak, kalau iya, bagaimana nasib kisah percintaanku. Tak mungkin aku meminta
Mas Anang jadi tumbal sambil menyanyikan lagu “Jodohku”.
September
tahun ini ternyata lebih kelam dari tahun sebelumnya, seharusnya aku ganti nama
saja menjadi September Merana.
“September,
kamu dipanggil kak April.”
Aku
terperanjat mendengar suara menggelegar bak gemuruh ombak di pantai selatan.
Dalam
hatiku bertanya-tanya. Kak April? Mei, Juni, Juli?
Dari
kejauhan aku melihat kak Nuno, rambutnya berkibar kibar bagai bendera setengah
tiang. Segalak apapun dia, tidak membuatku berhenti mengaguminya. Ia begitu
memesona sampai aku tak menyadari kalau sekarang sudah ada di hadapannya.
“September!”
Aku
terperangah.
“Kamu
melamun?”
Aku
menggeleng sambil menundukkan kepala, bagaikan aksi mengheningkan cipta.
Dengar
seluruh angkasa raya memuji…
“Pantas
saja salah, sering melamun rupanya. Lihat ini.” Kak Nuno menyodorkan buku tanda
tangan para senior.
Aku
melihat tanda-tangan dan nama yang tertera di sana. Tidak ada yang salah.
Lalu
dia menunjuk huruf-huruf yang membentuk kata Nuno di bawah tanda-tangannya yang
serumit benang kusut.
“Siapa
Nuno?” Dia membelalak, namun tidak menghilangkan semua pesonanya.
“Kan…
Ka …”
“Kamu
juara lomba mengarang tujuh belasan ya?”
Aku
menggeleng. “Juara lomba makan kerupuk kak.”
Mendengar
jawabanku, kak Nuno balik kanan namun tak pakai bubar jalan. Tak berapa lama,
dia balik kanan lagi sambil istirahat di tempat.
“Dengar
baik-baik ya, namaku April bukan Nuno.”
Mendadak
aku tersadar. Ya ampun, aku malu sekali, mengapa aku semena-mena menulis nama itu.
Tak fokus gara-gara rambut.
“Karena
kamu melakukan kesalahan, kamu mendapatkan hukuman. Sebenarnya aku bosan
menghukum kamu. Tapi bukankah kebenaran harus selalu ditegakkan?” Kak Nuno eh
Kak April berkata dengan heroiknya, gayanya sudah seperti Bill Pullman ketika
berpidato sesaat sebelum menyerang pesawat Alien yang bercokol di atas area
fifty one.
“Lari
keliling lapangan sambil dadah dadah, dua putaran.”
Aku
terpana, siang terik begini? Ya Tuhan, andai saja Engkau memberiku kekuatan
seperti Godam Gundala, pasti kusambut dengan hati gembira.
Selanjutnya
aku bagaikan atlet pembawa obor PON, berlari di antara tatapan banyak mata. Di
tengah perjalanan, mataku mulai berkunang-kunang, kepalaku bagai dipukul-pukul
oleh palunya kangmas Thor, tulang belulangku bagai duri bandeng presto Semarang
dan ototku mengendur bagai tali kolor kadaluarsa. Tiba-tiba, duniaku gelap
seketika.
Aku
tersadar ketika hidungku membaui aroma tajam. Rupanya tadi aku pingsan. Awalnya
aku akan membuka mataku, namun aku urungkan dengan segera. Aku pikir, mengapa
aku harus cepat-cepat bangun bila ada di sini membuatku dapat beristirahat
sejenak melepaskan penat.
Dalam
pura pura pingsanku, telingaku menangkap adu mulut yang sangat sengit. Aku
memicingkan mataku, Kak April tengah bersitegang dengan wakilnya, kak Sigit.
Hidungku
kembali mencium aroma tajam itu, aku bergeming.
Lalu
ada tepukan halus di pipiku.
“September,
tolong aku, sadarlah.” Kak April berbisik, suaranya diturunkan setengah nada
bak kebiasaan GNR dan Nirvana.
Aku
bertahan.
“Maafkan
aku. Bukan maksudku untuk membuatmu menjadi seperti ini. Aku hanya ingin selalu
melihatmu. Semakin sering aku menghukummu, semakin sering pula aku bisa
berlama-lama menatapmu.” Kak April kembali berbisik, suaranya kini terdengar
merdu bak Gary Cherone yang mendendangkan Love of my Life dengan mendayu.
“Mungkin
Nikka Costa benar, inilah yang dinamakan First Love, cinta pada pandangan
pertama.”
Mendengar
apa yang kak April ucapkan, rasanya aku ingin segera membuka mata lalu
melemparkan kamus John M. Echols. Namun, untuk apa membuka mata, jam pulang
masih lama. Lagipula semua ini mungkin hanya taktiknya belaka, agar aku bangun
lalu meluruskan artinya. Hmm, siapa yang lebih kriminal sekarang? Tapi
bagaimanapun aku merasa senang, karena rasa sukaku tidak bertepuk sebelah
tangan.
27
November 2017