Minggu, 17 Desember 2017

Rahasia dalam Secarik Sepi

Aku ingat benar waktu itu aku melihat ayahku tergeletak lemas di tengah-tengah pintu belakang rumah. Posisinya agak miring keluar jadi aku hanya bisa melihat punggungnya saja.  Aku pikir ia hanya tidur sejenak disana untuk melenyapkan sedikit rasa penat di tubuhnya yang lelah bekerja di pabrik kayu depan rumahku seharian. Aku membiarkan saja ia tertidur pulas disana karena aku tidak tega membangunkannya. Namun, aku berpikir alangkah lebih baik jika aku membangunkannya dan menyuruh ia untuk tidur di kamarnya yang terdapat kasur empuk nan nyaman.
Aku tidak langsung membangunkan ayahku karena aku sedang sakit perut yang rasanya seperti ditusuk-tusuk paku. Mungkin sakit perut ini dari akibat aku terlalu banyak permen di sekolah. Meskipun aku terlihat gemuk dan sehat namun ketika aku mengunyah sesuatu yang sangat manis membuat perutku seakan-akan berada di bawah tekanan sakaratul maut. Aku langsung saja menuju ke WC untuk meredakan sakit perutku.
Ketika sedang khusyuk-khusyuknya di WC terlintas dipikiranku mungkinkah ayahku terbaring di lantai itu bukan karena tertidur namun terkena penyakit sehingga ia terpingsan.
“Astaghfirullaaaahh..” sebutku sambil menggelengkan kepala berharap ilusi burukku itu tidak akan terjadi.
Seusai menuntaskan perbuatan kotorku di WC, aku tidak langsung membangunkan ayahku dari kelelapannya justru aku malah mengganti baju seragamku terlebih dulu yang telah kusam setelah berlelah-lelahan di sekolah sejak pagi.
Ketika aku mengganti pakaianku satu demi satu, terlintas di pikiranku lagi tentang apa yang terjadi dengan ayahku itu. Langsung saja setelah mengganti pakaian aku berlari dan berusaha membangunkan ayahku dari kelelapannya.
“Yah.. ayah.. bangun, pindah tidur gih ke kamar aja” ucapku sambil menggoyang-goyangkan tubuh ayahku. Aku berusaha membaringkan tubuhnya dari posisi tidurnya yang miring dengan sekuat tenaga kuda.
“Haduh ayah, bangun dong, berat ni loh badanmu....” ucapku menggerutu tak karuan.
“Lho eh!!” kaget setengah mati diriku melihat banyaknya darah yang berceceran di sekitar tubuhnya. Sontak aku semakin bersemangat menggoyang-goyangkan tubuhnya dan memanggil namanya.
“Yah.. ayah.. bangun.. bangun dong yah.. ayah kenapa?? Bangun..” teriakku sambil menangis dengan derasnya tanpa bisa dibendung dengan apapun.
Aku menangis dengan kerasnya seakan-akan membuat satu RT mendengar suara tangisku. Di saat seperti itu aku mendengar suara motor,itu adalah suara motor ibuku. Aku tidak memperdullikannya dan tetap menangis sembari menggoyang-goyangkan tubuh ayahku berharap ia terbangun dari lelapnya. Mendengar suaraku semakin kencang kudengar ada suara sepatu berlari menuju tempatku, ternyata dia adalah ibuku.
“Dik, kenapa menangis? Ada apa dengan ayahmu? Kok ada darah?”
Aku hanya diam dan tetap menangis. Bibirku sudah kaku untuk mengucapkan sepatah huruf seakan-akan aku seperti bayi yang hanya bisa menangis saja.
“Astaghfirullahal adzim.. yah! ayah! bangun.... tolong!! tolong!!” teriak ibuku berharap ada seseorang didekat rumahku segera membantu ayahku terbangun dari lelapnya.
Aku dan ibuku hanya bisa menangis melihat tetangga-tetanggaku yang menekan dada ayahku seperti orang memompa ban motor. Kulihat tak ada pergerakan dari ayahku sedikitpun. Ia hanya terlentang tak berdaya.
Tetangga-tetanggaku berkata kepada ibuku bahwa ayahku harus segera dibawa ke rumah sakit. Ibuku hanya mengangguk, patuh saja karena ingin melihat suaminya tersadar kembali.
Selang beberapa menit kulihat mobil pamanku sudah parkir di depan rumahku untuk membawa tubuh ayahku menuju ke rumah sakit. Tetangga-tetanggaku mengangtkat tubuh lemas ayahku masuk ke dalam mobil. Hanya beberapa orang saja yang naik ke mobil dan termasuk ibuku. Aku tidak mau ikut karena aku tidak tahan melihat sosok yang kujadikan pahlawan terlihat tak berdaya seperti itu. Aku hanya bis menangis dirumah. Lama-kelamaan air mataku telah habis sehingga berhenti dengan sendirinya. Aku terdiam.
Dalam diamku, ku dengar beberapa orang mengajakku berbicara namun aku hanya diam seribu bahasa. Terasa rongga-rongga mulutku mengering, lidahku kaku, dan bibirku beku membuatku mati rasa.
Kulihat di tempat ayahku terlentang tadi terdapat secarik kertas yang sudah berlumuran darah. Aku mengambil kertas itu dan membacanya.
Nasib itu tidak kulindungi, tapi kutuangkan ke dalam sepi bersama secarik rahasia yang kupendam di inti nurani bumi, bersimbah darah harum melati
Aku bingung dengan kata-kata aneh itu. Penuh majas dan kalimat yang tak bisa kupahami. Kulihat tidak hanya satu kertas saja, ternyata ada banyak kertas yang berserakan berisi kata-kata yang tak kupahami pula. Hanya satu kalimat saja yang bisa kupahami.
Aku berserah, aku berpasrah, jika ini akhir, jadikanlah akhir yang penuh bunga bersiraman air mata kehidupan anak dan istriku
Membaca kalimat itu membuat hatiku hancur berkeping-keping karena kata-kata itu seakan-akan menjadi kata perpisahan antara aku dengan ayahku. Aku ingin lagi menangis namun air mataku telah kering. Hanya sesak saja yang bisa ku rasakan dalam dadaku dan teriak saja yang bisa dilakukan olehku.

“Ayaaaaaaaahhhh!!!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar