Aku
ingat benar waktu itu aku melihat ayahku tergeletak lemas di tengah-tengah
pintu belakang rumah. Posisinya agak miring keluar jadi aku hanya bisa melihat
punggungnya saja. Aku pikir ia hanya
tidur sejenak disana untuk melenyapkan sedikit rasa penat di tubuhnya yang
lelah bekerja di pabrik kayu depan rumahku seharian. Aku membiarkan saja ia
tertidur pulas disana karena aku tidak tega membangunkannya. Namun, aku
berpikir alangkah lebih baik jika aku membangunkannya dan menyuruh ia untuk
tidur di kamarnya yang terdapat kasur empuk nan nyaman.
Aku
tidak langsung membangunkan ayahku karena aku sedang sakit perut yang rasanya
seperti ditusuk-tusuk paku. Mungkin sakit perut ini dari akibat aku terlalu
banyak permen di sekolah. Meskipun aku terlihat gemuk dan sehat namun ketika aku
mengunyah sesuatu yang sangat manis membuat perutku seakan-akan berada di bawah
tekanan sakaratul maut. Aku langsung
saja menuju ke WC untuk meredakan sakit perutku.
Ketika
sedang khusyuk-khusyuknya di WC
terlintas dipikiranku mungkinkah ayahku terbaring di lantai itu bukan karena
tertidur namun terkena penyakit sehingga ia terpingsan.
“Astaghfirullaaaahh..”
sebutku sambil menggelengkan kepala berharap ilusi burukku itu tidak akan
terjadi.
Seusai
menuntaskan perbuatan kotorku di WC, aku tidak langsung membangunkan ayahku
dari kelelapannya justru aku malah mengganti baju seragamku terlebih dulu yang
telah kusam setelah berlelah-lelahan di sekolah sejak pagi.
Ketika
aku mengganti pakaianku satu demi satu, terlintas di pikiranku lagi tentang apa
yang terjadi dengan ayahku itu. Langsung saja setelah mengganti pakaian aku
berlari dan berusaha membangunkan ayahku dari kelelapannya.
“Yah..
ayah.. bangun, pindah tidur gih ke kamar aja” ucapku sambil
menggoyang-goyangkan tubuh ayahku. Aku berusaha membaringkan tubuhnya dari
posisi tidurnya yang miring dengan sekuat tenaga kuda.
“Haduh
ayah, bangun dong, berat ni loh badanmu....” ucapku menggerutu tak karuan.
“Lho
eh!!” kaget setengah mati diriku melihat banyaknya darah yang berceceran di
sekitar tubuhnya. Sontak aku semakin bersemangat menggoyang-goyangkan tubuhnya
dan memanggil namanya.
“Yah..
ayah.. bangun.. bangun dong yah.. ayah kenapa?? Bangun..” teriakku sambil menangis
dengan derasnya tanpa bisa dibendung dengan apapun.
Aku
menangis dengan kerasnya seakan-akan membuat satu RT mendengar suara tangisku.
Di saat seperti itu aku mendengar suara motor,itu adalah suara motor ibuku. Aku
tidak memperdullikannya dan tetap menangis sembari menggoyang-goyangkan tubuh
ayahku berharap ia terbangun dari lelapnya. Mendengar suaraku semakin kencang
kudengar ada suara sepatu berlari menuju tempatku, ternyata dia adalah ibuku.
“Dik,
kenapa menangis? Ada apa dengan ayahmu? Kok ada darah?”
Aku
hanya diam dan tetap menangis. Bibirku sudah kaku untuk mengucapkan sepatah
huruf seakan-akan aku seperti bayi yang hanya bisa menangis saja.
“Astaghfirullahal
adzim.. yah! ayah! bangun.... tolong!! tolong!!” teriak ibuku berharap ada
seseorang didekat rumahku segera membantu ayahku terbangun dari lelapnya.
Aku
dan ibuku hanya bisa menangis melihat tetangga-tetanggaku yang menekan dada
ayahku seperti orang memompa ban motor. Kulihat tak ada pergerakan dari ayahku
sedikitpun. Ia hanya terlentang tak berdaya.
Tetangga-tetanggaku
berkata kepada ibuku bahwa ayahku harus segera dibawa ke rumah sakit. Ibuku
hanya mengangguk, patuh saja karena ingin melihat suaminya tersadar kembali.
Selang
beberapa menit kulihat mobil pamanku sudah parkir di depan rumahku untuk
membawa tubuh ayahku menuju ke rumah sakit. Tetangga-tetanggaku mengangtkat
tubuh lemas ayahku masuk ke dalam mobil. Hanya beberapa orang saja yang naik ke
mobil dan termasuk ibuku. Aku tidak mau ikut karena aku tidak tahan melihat
sosok yang kujadikan pahlawan terlihat tak berdaya seperti itu. Aku hanya bis
menangis dirumah. Lama-kelamaan air mataku telah habis sehingga berhenti dengan
sendirinya. Aku terdiam.
Dalam
diamku, ku dengar beberapa orang mengajakku berbicara namun aku hanya diam
seribu bahasa. Terasa rongga-rongga mulutku mengering, lidahku kaku, dan
bibirku beku membuatku mati rasa.
Kulihat
di tempat ayahku terlentang tadi terdapat secarik kertas yang sudah berlumuran
darah. Aku mengambil kertas itu dan membacanya.
“Nasib itu tidak kulindungi, tapi kutuangkan
ke dalam sepi bersama secarik rahasia yang kupendam di inti nurani bumi,
bersimbah darah harum melati”
Aku
bingung dengan kata-kata aneh itu. Penuh majas dan kalimat yang tak bisa
kupahami. Kulihat tidak hanya satu kertas saja, ternyata ada banyak kertas yang
berserakan berisi kata-kata yang tak kupahami pula. Hanya satu kalimat saja
yang bisa kupahami.
“Aku berserah, aku berpasrah, jika ini akhir,
jadikanlah akhir yang penuh bunga bersiraman air mata kehidupan anak dan
istriku”
Membaca
kalimat itu membuat hatiku hancur berkeping-keping karena kata-kata itu
seakan-akan menjadi kata perpisahan antara aku dengan ayahku. Aku ingin lagi
menangis namun air mataku telah kering. Hanya sesak saja yang bisa ku rasakan
dalam dadaku dan teriak saja yang bisa dilakukan olehku.
“Ayaaaaaaaahhhh!!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar