Kamis, 07 Desember 2017

Matahari Kehidupan

Gema suara marah menggelora di seberang jalan itu. Menuntut keadilan yang harus segera dimiliki oleh kerumunan orang-orang marah itu. Menyuarakan betapa pentingnya kenaikan upah di saat ekonomi sedang melemah. Mengingatkanku akan kejadian yang harusnya sudah kubuang jauh-jauh ke seberang samudera. Ayah dan ibuku, korban demo yag anarkis 16 tahun yang lalu.
Aku hanyalah orang awam yang tak tahu apa-apa mengenai ekonomi. Belum pernah bekerja, apalagi mendapatkan upah. Jadi, belum bisa merasakan kesedihan yang mereka rasakan. Hanya rasa simpati dan empati yang hanya bisa aku rasakan terhadap mereka.
Aku benar-benar tidak paham dengan kehidupan ekonomi di kota asalku itu setelah beberapa tahun aku berkelana di kota orang. Berkelana sambil menimba ilmu yang entah kapan habisnya. Mungkin sampai akhir hayatku pun tak akan ada habisnya.
Setelah sekian lama aku lelah berkelana di kota orang, Aku rasa sudah waktunya beristirahat sejenak di rumah idamanku, rumah yang selalu mengingatkanku akan kenangan-kenangan indah ketika aku masih seusia biji toge. Di rumah itulah aku mendapatkan beberapa pelajaran kehidupan yang sangat penting dari orang yang sangat berharga bagiku, dialah kakakku, Solihin. Wajar jika hanya dialah satu-satunya orang yang penting dalam hidupku karena ketika aku masih kecil hanya dialah yang mengasuhku hingga aku tumbuh menjadi mahasiswa perkasa.
Ayah dan ibuku telah meninggal ketika kakakku berusia 16 tahun dan pada saat itu pula usiaku baru meginjak 6 tahun. Dulu mereka adalah seorang pekerja buruh di salah satu pabrik sepatu di kotaku. Karena ada suatu hal, mereka beserta ratusan buruh yang lain di PHK secara masal oleh pihak pabrik sehingga membuat amarah para buruh itu meledak hingga menyebabkan situasi yang anarkis. Walaupun beberapa aparat keamanan sudah berjaga di pabrik itu, tak lantas membuat para buruh menyiutkan aksinya untuk melakukan tindak anarkis di pabrik yang telah menendang mereka dengan semena-mena. Mulai dari pembakaran sepatu, pembakaran ban truk, bahkan mobil petinggi pabrik pun ikut di bakar. Aparat keamanan pun tak tinggal diam, langsung saja mereka menyemprotkan gas air mata sambil memukul orang yang terduga sebagai provokator, salah satunya ayahku. Ayahku merupakan penderita serangan jantung jadi kapan saja bisa jantungnya bisa berhenti berdetak, dan di saat tindak anarkis aparat keamanan terhadap ayahku semakin tak terbendungkan, di saat itulah jantung ayahku tidak lagi berdetak untuk selamanya. Saat itu ibuku berunjuk rasa di bagian yang lain. Namun ketika ia melihat di bagian unjuk rasa suaminya telah ricuh dan terjadi tindak anarkisme, langsung saja ia menuju tempat itu dan menyusuri berbagai tempat untuk mencari keberadaan suaminya berada. Ketika ibuku menemukan suaminya telah tergeletak lemas tak berdaya dan telah di gendong oleh aparat yang dapat dikatakan ‘baik’, ia berusaha menyusul suaminya itu. Namun apa daya, baru semeter melangkah di kericuhan ia terkena lemparan botol kaca yang mengenai kepalanya. Air mata ibuku berlinang membasahi pipi yang telah tercampur dengan darah yang keluar dari kepalanya dan di sisi lain ayahku telah menunggu ibuku untuk pergi bersama ke hadapan Tuhan.
Aku ingat betul ketika jenazah ayah dan ibuku di kebumikan, aku sama sekali tak melihat air mata jatuh dari pipi kakakku namun hanya gerakan bibir yang menunjukkan bahwa ia sedang berdoa untuk ayah dan ibuku. Entah mengapa dia tidak menangis, mungkin saja di benar-benar tegar menghadapi takdir Tuhan atau mungkin saja dia telah menghabiskan air matanya tanpa sepengetahuanku.
Sepergian ayah dan ibuku, hanya kakakku yang aku punya, namun karena rasa iba banyak keluarga dari ayah maupun keluarga dari ibuku membantu biaya hidupku dan kakakku. Namun, ada satu hal yang membuatku takjub dengan kehebatan kakakku yaitu sifat mandiri dan pekerja keras. Dengan mengandalkan sifat itu kakakku mampu menjadi orang yang sukses.
“Dik, dengarkan aku, walaupun kita telah menjadi yatim piatu namun kita tidak boleh bergantung pada siapapun, kita harus mandiri, hidup ini berat jika terus-menerus mengandalkan orang lain.”
“Iya kak, tapi bagaimana selanjutnya? Kita sudah tidak memiliki apa-apa.”
“Pasti ada jalan, Allah akan selalu memudahkan orang-orang yang berikhtiar dan bertawakal. Kakak akan mencari kerja sampingan sambil bersekolah, dan kakak berjanji dengan tekat kakak akan menyekolahkanmu hingga masuk perguruan tinggi. Ekonomi di dunia ini memang sulit tapi tidak ada cita-cita yang sulit dicapai.”
“iya.” Jawabku menurut ucapan kakaku.
Kini kakakku sudah benar-benar sukses, sudah memiliki banyak toko sepatu sendiri dan sudah bercabang ke berbagai tempat.
Ketika kami berjalan-jalan ke alun-alun kota, kami menemukan demonstran yang berunjuk rasa kepada pemerintah untuk menaikkan upah buruh. Kakakku hanya diam dan menyepelekan mereka yang melakukan aksi demonstrasi karena tidak mau terlibat dalam situasi yang tidak di inginkan seperti yang telah terjadi pada ayah dan ibu kami.
“Kamu lihat orang-orang tadi kan? Mereka hidup untuk mendapatkan keadilan hidup tapi lupa bagaimana seharusnya manusia itu hidup, yaitu bersyukur. Lihatlah beberapa waktu ke depan, pasti diantara mereka ada salah seorang yang sukses karena paham bagaimmana seharusnya manusia hidup dan ada salah seorang yang gagal karena lupa bagaimana seharusnya manusia itu hidup. Kejadian yang menimpa ayah dan ibu kita dapat dijadikan sebagai contoh mengenai bagaimana hidup itu perlu bersyukur”
“Iya-iya, kalau mau nyindir terus terang aja, jangan bawa-bawa ayah dan ibu juga kali kak..”
“Lah habisnya kamu dari dulu ga berubah-ubah, menimba ilmu aja perhitungan, makanya ilmu yang kamu timba gak masuk otakmu. Jangan lupa bersyukur dengan apa yang sudah kamu miliki sekarang ini”
“iyaaa ah ceramah mulu dari kemarin.” Gertutuku malu.
“Hahahahaha....”
Dengan ajaran yang telah kakakku berikan padaku, membuat tusukan lembut di hatiku betapa pentingnya hal yang sepele seperti bersyukur dapat menjadi matahari kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar