Gema
suara marah menggelora di seberang jalan itu. Menuntut keadilan yang harus
segera dimiliki oleh kerumunan orang-orang marah itu. Menyuarakan betapa
pentingnya kenaikan upah di saat ekonomi sedang melemah. Mengingatkanku akan
kejadian yang harusnya sudah kubuang jauh-jauh ke seberang samudera. Ayah dan
ibuku, korban demo yag anarkis 16 tahun yang lalu.
Aku
hanyalah orang awam yang tak tahu apa-apa mengenai ekonomi. Belum pernah
bekerja, apalagi mendapatkan upah. Jadi, belum bisa merasakan kesedihan yang
mereka rasakan. Hanya rasa simpati dan empati yang hanya bisa aku rasakan
terhadap mereka.
Aku
benar-benar tidak paham dengan kehidupan ekonomi di kota asalku itu setelah
beberapa tahun aku berkelana di kota orang. Berkelana sambil menimba ilmu yang
entah kapan habisnya. Mungkin sampai akhir hayatku pun tak akan ada habisnya.
Setelah
sekian lama aku lelah berkelana di kota orang, Aku rasa sudah waktunya
beristirahat sejenak di rumah idamanku, rumah yang selalu mengingatkanku akan
kenangan-kenangan indah ketika aku masih seusia biji toge. Di rumah itulah aku
mendapatkan beberapa pelajaran kehidupan yang sangat penting dari orang yang
sangat berharga bagiku, dialah kakakku, Solihin. Wajar jika hanya dialah satu-satunya
orang yang penting dalam hidupku karena ketika aku masih kecil hanya dialah
yang mengasuhku hingga aku tumbuh menjadi mahasiswa perkasa.
Ayah
dan ibuku telah meninggal ketika kakakku berusia 16 tahun dan pada saat itu
pula usiaku baru meginjak 6 tahun. Dulu mereka adalah seorang pekerja buruh di
salah satu pabrik sepatu di kotaku. Karena ada suatu hal, mereka beserta
ratusan buruh yang lain di PHK secara masal oleh pihak pabrik sehingga membuat
amarah para buruh itu meledak hingga menyebabkan situasi yang anarkis. Walaupun
beberapa aparat keamanan sudah berjaga di pabrik itu, tak lantas membuat para
buruh menyiutkan aksinya untuk melakukan tindak anarkis di pabrik yang telah
menendang mereka dengan semena-mena. Mulai dari pembakaran sepatu, pembakaran
ban truk, bahkan mobil petinggi pabrik pun ikut di bakar. Aparat keamanan pun
tak tinggal diam, langsung saja mereka menyemprotkan gas air mata sambil
memukul orang yang terduga sebagai provokator, salah satunya ayahku. Ayahku
merupakan penderita serangan jantung jadi kapan saja bisa jantungnya bisa
berhenti berdetak, dan di saat tindak anarkis aparat keamanan terhadap ayahku
semakin tak terbendungkan, di saat itulah jantung ayahku tidak lagi berdetak
untuk selamanya. Saat itu ibuku berunjuk rasa di bagian yang lain. Namun ketika
ia melihat di bagian unjuk rasa suaminya telah ricuh dan terjadi tindak
anarkisme, langsung saja ia menuju tempat itu dan menyusuri berbagai tempat
untuk mencari keberadaan suaminya berada. Ketika ibuku menemukan suaminya telah
tergeletak lemas tak berdaya dan telah di gendong oleh aparat yang dapat
dikatakan ‘baik’, ia berusaha menyusul suaminya itu. Namun apa daya, baru
semeter melangkah di kericuhan ia terkena lemparan botol kaca yang mengenai
kepalanya. Air mata ibuku berlinang membasahi pipi yang telah tercampur dengan
darah yang keluar dari kepalanya dan di sisi lain ayahku telah menunggu ibuku
untuk pergi bersama ke hadapan Tuhan.
Aku
ingat betul ketika jenazah ayah dan ibuku di kebumikan, aku sama sekali tak
melihat air mata jatuh dari pipi kakakku namun hanya gerakan bibir yang
menunjukkan bahwa ia sedang berdoa untuk ayah dan ibuku. Entah mengapa dia
tidak menangis, mungkin saja di benar-benar tegar menghadapi takdir Tuhan atau
mungkin saja dia telah menghabiskan air matanya tanpa sepengetahuanku.
Sepergian
ayah dan ibuku, hanya kakakku yang aku punya, namun karena rasa iba banyak
keluarga dari ayah maupun keluarga dari ibuku membantu biaya hidupku dan
kakakku. Namun, ada satu hal yang membuatku takjub dengan kehebatan kakakku
yaitu sifat mandiri dan pekerja keras. Dengan mengandalkan sifat itu kakakku
mampu menjadi orang yang sukses.
“Dik,
dengarkan aku, walaupun kita telah menjadi yatim piatu namun kita tidak boleh
bergantung pada siapapun, kita harus mandiri, hidup ini berat jika
terus-menerus mengandalkan orang lain.”
“Iya
kak, tapi bagaimana selanjutnya? Kita sudah tidak memiliki apa-apa.”
“Pasti
ada jalan, Allah akan selalu memudahkan orang-orang yang berikhtiar dan
bertawakal. Kakak akan mencari kerja sampingan sambil bersekolah, dan kakak
berjanji dengan tekat kakak akan menyekolahkanmu hingga masuk perguruan tinggi.
Ekonomi di dunia ini memang sulit tapi tidak ada cita-cita yang sulit dicapai.”
“iya.”
Jawabku menurut ucapan kakaku.
Kini
kakakku sudah benar-benar sukses, sudah memiliki banyak toko sepatu sendiri dan
sudah bercabang ke berbagai tempat.
Ketika
kami berjalan-jalan ke alun-alun kota, kami menemukan demonstran yang berunjuk
rasa kepada pemerintah untuk menaikkan upah buruh. Kakakku hanya diam dan
menyepelekan mereka yang melakukan aksi demonstrasi karena tidak mau terlibat
dalam situasi yang tidak di inginkan seperti yang telah terjadi pada ayah dan
ibu kami.
“Kamu
lihat orang-orang tadi kan? Mereka hidup untuk mendapatkan keadilan hidup tapi
lupa bagaimana seharusnya manusia itu hidup, yaitu bersyukur. Lihatlah beberapa
waktu ke depan, pasti diantara mereka ada salah seorang yang sukses karena
paham bagaimmana seharusnya manusia hidup dan ada salah seorang yang gagal
karena lupa bagaimana seharusnya manusia itu hidup. Kejadian yang menimpa ayah
dan ibu kita dapat dijadikan sebagai contoh mengenai bagaimana hidup itu perlu
bersyukur”
“Iya-iya,
kalau mau nyindir terus terang aja, jangan bawa-bawa ayah dan ibu juga kali
kak..”
“Lah
habisnya kamu dari dulu ga berubah-ubah, menimba ilmu aja perhitungan, makanya
ilmu yang kamu timba gak masuk otakmu. Jangan lupa bersyukur dengan apa yang
sudah kamu miliki sekarang ini”
“iyaaa
ah ceramah mulu dari kemarin.” Gertutuku malu.
“Hahahahaha....”
Dengan
ajaran yang telah kakakku berikan padaku, membuat tusukan lembut di hatiku
betapa pentingnya hal yang sepele seperti bersyukur dapat menjadi matahari
kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar