Sembari
aku menunggu hujan. Aku memandang tragedi kenangan. Mataku ini bukan lagi
seperti saat pertama kau hadir dalam ambang kehidupan. Binarnya mulai terbias
akibat kilaun luka yang kau buat. Curahan hatiku tergambar jelas seperti
derasnya hujan. Geraman hatiku sudah tak kuasa menahan jeritan yang
meronta-ronta ingin keluar.
Hai
kau!? Tuhan tidaklah pelit dalam hal memberi kebahagiaan. Apakah kamu tahu
bahagia itu? Memang benar. Jika kau mengingkan hal yang lebih, suatu saat pasti
akan ada hal yang lebih. Pun jika kau menginkan hal yang sempurna, kau akan
mendapatkan hal itu.
Tapi
kau tahu? Kau tak akan mendapatkan apa itu bahagia. Rasa syukur adalah cerminan
wujud dari yang namanya kebahagiaan. Hatiku tak mampu lagi bertanya!? Aku tak
bisa memahami dari arti bahagia yang hinggap dalam obsesi hidupmu sampai
sekarang!
Apakah
kau tak mengerti apa yang diartikan rasa belas kasih? Atau hanya sekedar
tentang perasaan tenggang rasa terhadap sesama? Sungguh. Rasa itu sekarang
sudah tak lagi ada. Hatimu sekarang nanar kosong. Saat pikiranmu mulai
memikirkan tentang gumilar keindahan. Keindahan satu yang terpampang jelas di
matamu tak lagi kau hiraukan. Kau abaikan lewat, enyah begitu saja. Pun matamu
sudah tertutup oleh kilauan itu membuat hatimu membeku kaku. Kau memang berhak
memilih!? Tapi kau tak berhak memilah!
Hatimu
sudah beku sangat kaku. Mengkristal akibat setiap dengungan dari tutur lisanmu.
Kerikil Tuhan yang berniat menghentikanmu malah kau lemparkan balik. Kau malah
melawanya bersikukuh dengan cara sudut pandangmu yang berbeda.
Kau
termakan oleh kata-katamu. Belati itu menghujam balik tubuhmu sendiri.
Menyerang kata-kata yang kau tuturkan seperti tak mengenal akan balasan Tuhan.
Kata-katamu tak sanggup menahan balasan karma yang diberikan langsung oleh
tangan Tuhan.
Lukamu
semakin menyayat lantaran diserang garam kehidupan yang meronta secara
membabibuta.
Hai
kau!? Jika saja hatiku sekeras layaknya milikmu. Mungkin saja aku sudah
terbahak-bahak melampiaskan di derasnya hujan ini.
Jika
saja hatiku tertutup oleh keindahan dunia layaknya milikmu. Mungkin saja aku
lebih memilah sosok orang yang paling aku pilih.
Sayangnya!?
Itu hanyalah lantunan JIKA yang hanya mengandung rasa penyesalan! Sama seperti
yang kau rasakan, Bukan!? Sungguh memang hatiku tak sanggup. Air hujan yang
menetes ini mewakili tetesan air mata. Kenangan tentang bagaimana Tuhan
menciptakan perasaan ini hingga terbentuk, sangatlah sempurna. Aku sungguh
sangat tak kuasa.
Biarkan
kenangan ini terbawa oleh derasnya air hujan. Biarkan hujan menggeruskan
kenangan cerita hingga tak tersisa. Dan biarkan aku menikmati kesendirianku
kala hujan tiba.
22
Agustus 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar