Kamis, 10 Agustus 2017

Hujan Penggerus Kenangan


Sembari aku menunggu hujan. Aku memandang tragedi kenangan. Mataku ini bukan lagi seperti saat pertama kau hadir dalam ambang kehidupan. Binarnya mulai terbias akibat kilaun luka yang kau buat. Curahan hatiku tergambar jelas seperti derasnya hujan. Geraman hatiku sudah tak kuasa menahan jeritan yang meronta-ronta ingin keluar.
Hai kau!? Tuhan tidaklah pelit dalam hal memberi kebahagiaan. Apakah kamu tahu bahagia itu? Memang benar. Jika kau mengingkan hal yang lebih, suatu saat pasti akan ada hal yang lebih. Pun jika kau menginkan hal yang sempurna, kau akan mendapatkan hal itu.
Tapi kau tahu? Kau tak akan mendapatkan apa itu bahagia. Rasa syukur adalah cerminan wujud dari yang namanya kebahagiaan. Hatiku tak mampu lagi bertanya!? Aku tak bisa memahami dari arti bahagia yang hinggap dalam obsesi hidupmu sampai sekarang!
Apakah kau tak mengerti apa yang diartikan rasa belas kasih? Atau hanya sekedar tentang perasaan tenggang rasa terhadap sesama? Sungguh. Rasa itu sekarang sudah tak lagi ada. Hatimu sekarang nanar kosong. Saat pikiranmu mulai memikirkan tentang gumilar keindahan. Keindahan satu yang terpampang jelas di matamu tak lagi kau hiraukan. Kau abaikan lewat, enyah begitu saja. Pun matamu sudah tertutup oleh kilauan itu membuat hatimu membeku kaku. Kau memang berhak memilih!? Tapi kau tak berhak memilah!
Hatimu sudah beku sangat kaku. Mengkristal akibat setiap dengungan dari tutur lisanmu. Kerikil Tuhan yang berniat menghentikanmu malah kau lemparkan balik. Kau malah melawanya bersikukuh dengan cara sudut pandangmu yang berbeda.
Kau termakan oleh kata-katamu. Belati itu menghujam balik tubuhmu sendiri. Menyerang kata-kata yang kau tuturkan seperti tak mengenal akan balasan Tuhan. Kata-katamu tak sanggup menahan balasan karma yang diberikan langsung oleh tangan Tuhan.
Lukamu semakin menyayat lantaran diserang garam kehidupan yang meronta secara membabibuta.
Hai kau!? Jika saja hatiku sekeras layaknya milikmu. Mungkin saja aku sudah terbahak-bahak melampiaskan di derasnya hujan ini.
Jika saja hatiku tertutup oleh keindahan dunia layaknya milikmu. Mungkin saja aku lebih memilah sosok orang yang paling aku pilih.
Sayangnya!? Itu hanyalah lantunan JIKA yang hanya mengandung rasa penyesalan! Sama seperti yang kau rasakan, Bukan!? Sungguh memang hatiku tak sanggup. Air hujan yang menetes ini mewakili tetesan air mata. Kenangan tentang bagaimana Tuhan menciptakan perasaan ini hingga terbentuk, sangatlah sempurna. Aku sungguh sangat tak kuasa.
Biarkan kenangan ini terbawa oleh derasnya air hujan. Biarkan hujan menggeruskan kenangan cerita hingga tak tersisa. Dan biarkan aku menikmati kesendirianku kala hujan tiba.


22 Agustus 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar