Entah di mana aku saat ini. Aku memutuskan untuk
berhenti sejenak dari perjalananku yang entah ke mana, duduk bersandar pada
sebuah ruko yang sudah tutup. Ternyata, kalau diperhatikan, langit sore ini
sungguh memesona. Selama ini aku tidak menyadari kalau langit sore itu indah
begini.
Azan mulai berkumandang saat mataku hampir saja
terpejam. Lamat-lamat kuperhatikan suara yang keluar dari masjid di seberang
sana. Suara yang jarang sekali aku dengar, lebih tepatnya tidak kuperhatikan.
Banyak orang berlalu lalang mengenakan pakaian muslim, baik yang laki-laki
maupun yang perempuan. Mereka beramai-ramai menuju masjid itu. Entah mengapa,
masjid itu tiba-tiba saja terlihat anggun bagiku.
Sudah lama sekali aku tidak sholat, mungkin terakhir
kali saat aku SD.
Ketika memasuki masa SMP, aku bertemu dengan
teman-teman yang sangat bersahabat, solid. Menyenangkan sekali, saat-saat
ternakal yang aku punya. Membuat kegaduhan di sekolah, mengerjai guru dan
anak-anak ‘cupu’, begitulah cara kami memanggil mereka yang berbeda dari kami.
Bolos sekolah dan tawuran hampir kami lakukan setiap hari. Tidak mengerjakan PR
dan merokok bukanlah kenakalan yang berarti bagi kami.
Sepulang sekolah kami selalu nongkrong sampai
kadang-kadang tengah malam aku baru pulang. Jangan ditanya apa yang kami
lakukan. ‘Minum’, pacaran, j*di. Jika ada yang tidak senang atau menantang kami
tentu saja kami siap untuk berkelahi.
Persahabatan kami tidak berhenti sampai masa SMP. Pada
saat pendaftaran SMA, kami semua memilih sekolah yang sama agar tetap bisa
terus bersama. Dan kenakalan kami pun berkembang. Kami mulai mencuri, apapun
akan kami curi jika ada kesempatan. Aku mulai mengenal benda haram itu. Benda
yang membawaku ke alam fantasi tak berujung. Duniaku semakin menyenangkan.
Entah apa yang telah menimpa mereka. Budi, Andi dan
juga Rian memutuskan untuk berhenti dan memilih dunia baru, dan jika ada yang
pergi tentu selalu ada yang datang menjadi penggantinya. Entah kenapa itu
selalu menjadi teori tak terbantahkan bagiku.
Aku baru menyadarinya saat ini. Keputusan mereka saat
itu adalah sebuah keputusan yang sangat tepat. Karena kami lupa caranya untuk
berhenti hingga dunia melemparkan kami kepada sebuah penyesalan.
Beberapa sahabatku ditangkap polisi saat menggunakan
benda haram itu, beruntungnya aku tidak bersama mereka saat itu. Namun hal lain
justru menimpaku. Sebuah kejadian dengan kekasihku membuatku dan dia berhenti
sekolah, memulai kehidupan baru sebagai sepasang suami-istri. Tentu saja cacian
tak terelakkan, baik itu dari pihak keluargaku, keluarganya, atau orang-orang
yang bahkan tidak kami kenal. Hanya sahabat-sahabatku yang selalu mendukung dan
menyemangatiku.
Segalanya mulai berubah. Walaupun aku masih dengan
duniaku, namun aku telah dipatok oleh kewajiban sebagai seorang suami, ditambah
akan segera mempunyai anak. Aku mulai mencari pekerjaan. Tapi siapa yang mau
menerima seseorang yang bahkan tidak mempunyai ijazah SMA sebagai karyawannya?
Masalah perekonomian keluarga ini membuatku dan
istriku sering bertengkar. Tak jarang dia mencaciku sebagai suami tak berguna.
Suatu hari, aku dan istriku bertengkar hebat, sangat hebat. Anak kami akan
segera lahir dan kami tidak mempunyai dana yang cukup untuk melahirkannya.
Istriku tidak mau meminjam lagi pada orangtua kami.
Dan akhirnya, dia pergi meninggalkanku. Kami tidak
bercerai, tapi dia pergi begitu saja dengan membawa anakku yang bahkan aku
belum melihat wajahnya. Kucoba untuk membujuknya kembali di rumah orangtuanya.
Tapi yang terjadi, aku justru berkelahi dengan mertuaku.
“Tidak berguna!” begitu katanya.
Ya! Aku memang tidak berguna! Pecundang! Aku tidak
bisa menafkahi istriku sendiri. Tidak ada yang menganggapku, bahkan orangtuaku
pun sudah tidak menerimaku lagi di rumah mereka. Tapi, apakah aku tidak boleh
terus berusaha? Aku tidak bermalas-malasan. Aku sudah berusaha sekuat tenaga,
sungguh. Menjadi kuli bangunan, tukang ojek, kurir, semua usaha sudah kulakukan
untuk membiayai kehidupan keluarga kami.
Aku terpuruk. Kontrakanku kini hanya diisi oleh para
sahabatku yang setiap hari berpesta. Keadaannya mirip seperti sarang binatang.
Tapi, aku tidak menemukan kebahagiaanku lagi saat
melakukannya.
Semuanya terasa membosankan.
Aku tidak bekerja lagi. Untuk apa aku bekerja jika
tiada lagi yang berarti bagiku? Dengan alasan solidaritas dan untuk membeli
benda haram itu, aku pun melakukan pekerjaan mereka. Mencuri. Namun, naasnya,
pada aksi pertamaku, kami kepergok oleh warga. Para sahabatku berhasil lari.
Aku gagal.
Warga mencoba untuk membakarku atas apa yang telah aku
perbuat. Sebenarnya aku telah ikhlas, aku pun sudah tidak mempunyai semangat
hidup lagi. Tapi polisi datang dan menyelamatkanku, mengadiliku sebagaimana
hukum yang ada di negeri ini.
“Ya, Allah…” Kuhabiskan masa hukumanku untuk merenung,
memikirkan tentang apa yang telah aku lakukan selama hidup di dunia ini.
Mengingatnya, aku merasa geli dengan diriku sendiri.
Kali ini aku ingin mengikuti jejak Budi, Andi dan juga
Rian. Berhenti.
“Sudah cukup…” Tapi, aku harus ke mana? Melakukan apa?
“Jadi begitu…” Deg! Buru-buru aku menoleh ke arah
suara… dan kudapati seorang kakek sedang duduk di sebelahku. Sejak kapan dia
ada di sini? Aku tidak merasakan kehadirannya sedari tadi.
Sama seperti yang lainnya, kakek ini mengenakan
pakaian muslim. Namun bedanya, seluruh pakaian maupun pernak-pernik yang ada di
tubuhnya berwarna putih, bahkan rambut dan jenggotnya yang panjang juga
berwarna putih.
“Siapa Anda?” Kakek itu tersenyum.
“Kamu muslim?” Aku menangguk samar, sebenarnya aku
tidak yakin apakah aku masih bisa disebut muslim atau tidak. Aku sudah jauh
sekali dari Allah.
Kakek itu tersenyum lagi, entah kenapa dia selalu
tersenyum, tapi belum juga menjawab pertanyaanku. Siapa dia?
“Bagaimana kalau kita shalat dulu, baru lanjut
ngobrol-ngobrolnya. Maghrib sudah mau habis.” Aku terdiam mendengar ajakannya
dan hanya bisa menunduk malu. Malu pada diriku sendiri. Apakah Allah masih mau menerima
ibadahku. “Aku kotor…”
“Kalau begitu mandi saja di masjid. Nanti, aku akan
menyediakan pakaian yang bersih untukmu.” Aku menghela nafas panjang. “Bukan
itu, bukan kotor itu yang kumaksud…”
“Lalu?” Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya. Aku memilih diam.
“Kalau begitu, mari.” Kakek itu berdiri dan
mengulurkan tangannya padaku. Aku hanya diam dan menatapnya. Lalu, entah
dorongan dari mana, aku menerima uluran tangannya.
Orang-orang hendak pulang ketika kami memasuki masjid
dan betapa kagetnya aku ketika mereka semua memanggil kakek ini dengan sebutan
Kyai. Langsung saja aku melepaskan genggamannya saat tiba di depan pintu kamar
mandi.
“Siapa anda sebenarnya? Apa anda bisa membaca pikiran saya?” Aku menatapnya
tajam, aku harus tahu dengan siapa aku saat ini.
Seperti biasa, kakek ini tersenyum sebelum berucap.
“Namaku Sofyan. Dan aku tidak bisa membaca pikiranmu.”
“Kenapa tadi tiba-tiba anda ada di sebelahku, lalu apa
maksud anda dengan ‘Jadi begitu’ tadi?” Kali ini dia tertawa.
“Aku hendak
menuju masjid saat aku melihatmu duduk di depan ruko tadi. Matamu kosong
menerawang langit, siapapun tahu kalau kamu sedang dilanda keresahan. Sesekali kamu
berbicara sendiri, walaupun pelan aku dapat mendengarnya, pendengaranku masih
baik. Sisanya tinggal mengandalkan intuisiku.” Aku terdiam untuk yang kesekian
kalinya. Masuk akal, tapi apakah benar aku berbicara sendiri?
“Tenang saja, aku ini benar-benar manusia kok.” Dia
berkata seperti itu seolah mengerti apa yang kupikirkan. Kali ini aku yang tersenyum
mendengar kata-katanya.
“Sebaiknya kita bergegas shalat maghrib. Lekaslah
mandi.”
“Maaf, Pak Kyai Sofyan, aku rasa aku tidak bisa.”
“Percayalah padaku, kau akan segera menemukan
jawabannya.” Pak Kyai Sofyan memegang erat kedua bahuku dan menatapku dengan
tajam, berusaha meyakinkanku.
Dan dia berhasil. Aku bergegas mandi, mengganti pakaian dan menuju ruangan
sholat.
Akan tetapi… perasaan apa ini? Aku tidak mengerti,
seketika saja saat langkah pertamaku masuk, hatiku menjadi tenang. Damai
sekali. Lagi-lagi seolah mengerti apa yang kurasakan, Pak Kyai itu tersenyum
menatapku. Kemudian dia membimbingku, membetulkan posisiku lalu kami mulai
sholat.
“Allahu Akbar.”
Deg! Sama seperti tadi, aku merasakan ketenangan,
namun kali ini lebih besar. Pak Kyai Sofyan mulai membaca surat Al-Fatihah dan
entah mengapa air mataku menetes. Aku tidak bersedih, justru sebaliknya, hatiku
terasa sangat hangat. Semakin lama tangisku semakin menjadi-jadi tanpa bisa
kutahan, hatiku terasa semakin hangat. Aku tidak sanggup menahannya.
Kutumpahkan semua air mataku. Aku menangis sejadi-jadinya.
Aku merasakannya. Cinta Allah.
Rakaat demi rakaat terlewati dan tangisku tidak juga
berhenti sampai rakaat terakhir dan mengucapkan salam.
Pak Kyai Sofyan segera membalikkan tubuhnya dan
tersenyum menatapku. Inikah jawabannya? Segera aku bersujud kembali pada Allah.
Meledakkan tangisku kembali.
“Aku pulang. Ya, Allah. Aku pulang.”
Selepas keluar dari penjara, aku bingung harus ke
mana. Keluargaku maupun keluarga istriku tidak ada yang mau menerimaku kembali.
Istriku sudah menikah lagi dan anakku telah tumbuh menjadi gadis lucu tanpa
mengetahui bahwa aku adalah ayah kandungnya. Aku pun tidak tahu keberadaan
sahabat-sahabatku. Aku hilang. Hampa. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi.
Selama ini aku tersesat, hilang arah dan hilang
harapan. Namun kini aku mempunyai tempat untuk pulang.